Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hidup Bukanlah Kompetisi, melainkan Sebuah Perjalanan

18 Januari 2022   08:34 Diperbarui: 25 Januari 2022   02:47 5372
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita hidup dalam budaya yang sangat kompetitif. Sejak kecil, kita tampaknya sudah didoktrin bahwa hidup ini adalah arena besar dari kompetisi. Kita diajari untuk bersaing dengan saudara kandung, teman sekelas, bahkan tetangga yang sebaya.

Ketika kita memasuki dunia dewasa, asumsi tersebut masih melekat pada kita dan secara otomatis menganggap kompetisi sebagai suatu keniscayaan. Kita percaya bahwa kompetisi merupakan hal yang baik dan penting untuk mencapai kesuksesan.

Fokus pada kompetisi dapat membuat kita percaya bahwa kehidupan adalah permainan yang harus kita menangkan dan bahwa orang-orang di sekitar kita hanyalah "pesaing" yang mesti dikalahkan, bahkan jika mereka adalah orang yang dicintai dan disayangi.

Ketika kita berpikir tentang kemenangan, maka ada kemungkinan pula kita menghabiskan waktu untuk mengkhawatirkan kekalahan. Seperti yang dipikirkan banyak orang, hidup adalah arena kompetisi yang akan menggilas pihak yang lemah dan tak berdaya.

Tetapi agaknya, manusia memang terlahir ke dunia sebagai makhluk yang tak berdaya. Manusia memiliki hasrat universal untuk bisa lepas dari keadaan inferior tersebut. Psikolog Alfred Adler menyebutnya dengan "upaya untuk meraih superioritas".

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keinginan untuk "memenangkan" permainan apa pun yang kita mainkan dalam hidup ini. Tetapi jika kita menganggap seluruh titik kehidupan sebagai panggung persaingan, kita tidak akan pernah hidup tenang.

Kehidupan yang selalu diselubungi rivalitas adalah kehidupan yang disesaki oleh ego sebagaimana hukum rimba yang berlaku bagi binatang. Dan ketika manusia bertarung atas kehendak egonya masing-masing, kita mungkin akan hidup dalam "perang dunia" untuk selamanya.

Meskipun tidaklah mudah untuk bersikap tenang di tengah-tengah dunia yang terus menuntut kita berjiwa kompetitif, tetapi saya pikir hidup kita akan lebih sulit lagi bila kita menuruti arus tersebut dan lalu tenggelam ke dalamnya.

Seperti yang dikatakan Howard Cosell, "Kemenangan akhir dalam kompetisi diperoleh dari kepuasan batin karena mengetahui bahwa Anda telah melakukan yang terbaik dan bahwa Anda telah mendapatkan hasil maksimal dari apa yang harus Anda berikan."

Efek Domino dari Perasaan Rendah Diri

Satu dampak yang jelas dirasakan semua orang ketika menganggap hidup ini sebagai arena kompetisi adalah perasaan rendah diri atau inferior. Ketika seseorang sadar tentang kompetisi dan menang-kalah, perasaan tersebut tak terelakkan lagi akan muncul.

Lantas seperti apakah dia di titik tersebut? Dia bukan hanya menganggap orang lain sebagai rival. Lebih buruk dari itu, dia akan mulai melihat setiap orang sebagai musuhnya, atau pendeknya, dunia adalah tempat yang mengerikan baginya.

Perasaan rendah diri dapat mendorong rasa cemburu dan iri terhadap pencapaian orang lain. Dengan begitu, orang akan merasa lebih tersudutkan oleh tekanan dari dirinya sendiri, dan itu menciptakan kemarahan moral yang sama buruknya.

Kecemburuan tidak mengubah hati orang lain, melainkan hanya mengubah hati kita sendiri. Seperti yang dikatakan Carrie Fisher, "Kecemburuan itu seperti kau meminum racun dan menunggu orang lain untuk mati."

Perasaan inferior juga dapat merenggut sesuatu yang berharga dari kita. Seseorang mungkin memiliki kepercayaan bahwa dirinya cukup bernilai, tetapi keyakinan tersebut dapat runtuh seketika apabila dia merasakan kecemburuan yang tidak tertahankan.

Mungkin benar bahwa perasaan inferior adalah bagian alami dari kehidupan setiap orang. Hanya saja, tidak ada yang bisa menanggung perasaan inferior terlalu lama. Perasaan ini dimiliki setiap orang, tapi terus-menerus memilikinya akan jadi terlalu sulit untuk ditanggung.

Manusia tampaknya selalu mendambakan kesempurnaan dalam hidupnya; masa ketika orang berada dalam semacam "puncak piramida" atas terpenuhinya semua kebutuhan dan tinggal menerima tepuk tangan serta pujian.

Tetapi, harapan itu sendiri benar-benar cacat karena membayangkan sesuatu yang tidak ada.

Kecemburuan dapat "membutakan" seseorang sehingga pelajaran apa pun yang mendatanginya akan sangat sulit untuk ditangkap. Lebih buruknya, orang mungkin akan menciptakan skenario-skenario buruk yang irasional dalam kepalanya.

Melihat dunia sebagai arena kompetisi adalah hasil dari "kacamata" yang kita gunakan. Dalam artian, paradigma kitalah yang membuatnya demikian. Paradigma ini sulit untuk diubah atau disingkirkan karena telah ditanamkan pada kita sejak kecil.

Paradigma tersebut mengakar kuat dalam diri kita sehingga upaya untuk melepaskannya adalah perjuangan seumur hidup.

Barangkali perasaan inferior yang timbul dari paradigma tersebut bukanlah suatu penyakit yang mesti dimusnahkan seluruhnya. Kalau tidak digunakan dengan cara yang salah, kecemburuan dapat memacu kerja keras dan perkembangan diri yang sehat.

Bagi beberapa orang, tidaklah apa-apa untuk cemburu dan merasa inferior. Apa yang penting adalah, bagaimana mereka dapat belajar sesuatu darinya. Mereka menjadikan itu sebagai lintasan baru yang lebih menantang untuk mengembangkan dirinya sendiri.

Tetapi kebanyakan dari kita tidak demikian. Orang-orang ini justru menjadikan kecemburuan sebagai jurang yang dalam dan hanya membuat mereka terjatuh berkali-kali di titik yang sama. Mereka tidak belajar apa pun dari perasaan inferiornya.

Hidup bukan Kompetisi, tapi Kita Tetap Bisa Menang

Saya percaya bahwa hidup bukan tentang bersaing dengan semua orang di sekitar kita, melainkan tentang menantang diri kita sendiri untuk menjadi versi terbaik dari kita dan menghargai setiap proses yang mengarahkan kita ke titik tersebut.

Dengan demikian, hidup adalah sebuah perjalanan. Seperti yang dikatakan Zen Shin, "Bunga tidak berpikir untuk bersaing dengan bunga di sebelahnya. Mereka hanya mekar."

Bagi sekuntum bunga, tidaklah berguna untuk membandingkan dirinya dengan bunga lain. Mereka hanya mekar sesuai kodratnya, sebab mereka tahu, setiap bunga memiliki keindahannya tersendiri. Setiap bunga selalu indah pada dirinya sendiri.

Itulah sesuatu yang saya harap disadari semua orang.

Tidak penting apakah seseorang berupaya berjalan di depan atau di belakang. Ini seperti berjalan di suatu bidang datar yang tidak memiliki sumbu vertikal. Kita tidak melakukannya karena perlu bersaing dengan yang lain.

Hanya dengan maju mendahului siapa diri kita di saat inilah ... ada nilai yang bisa kita dapatkan. Napoleon Hill pernah menulis, "Anda dapat melihat teman terbaik sekaligus musuh terbesar Anda dengan berdiri di depan cermin."

Jika persaingan menjadi inti dari hubungan interpersonal kita, maka kita tidak akan bisa lari dari kemalangan apa pun, sebab keseharian kita selalu dipenuhi oleh keterhubungan kita dengan orang lain.

Inilah yang membuat persaingan begitu menakutkan.

Sekalipun Anda bukan seorang pecundang, sekalipun Anda terus-menerus meraih kemenangan, bila Anda telah menempatkan diri dalam kompetisi, maka Anda akan sangat kesulitan untuk merasakan kedamaian walau sejenak.

Anda mungkin tidak akan bisa memercayai orang lain.

Alasan begitu banyak orang tidak benar-benar merasa bahagia ketika membangun kesuksesan di mata masyarakat adalah karena mereka hidup dalam tekanan kompetisi, di mana bagi mereka, dunia adalah tempat yang dipenuhi ancaman dan lawan.

Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menulis kalimat rupawan dalam buku populernya The Courage to be Disliked, "Upaya meraih superioritas adalah pola pikir untuk maju dengan kaki sendiri, bukan untuk bersaing yang mengharuskan kita membidik lebih tinggi dari yang lain."

Hidup lebih merupakan sebuah perjalanan daripada arena kompetisi. Kendati demikian, kita tetap dapat merasakan kemenangan setiap hari, yaitu ketika kita bisa melangkah ke versi terbaik dari diri kita dengan menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Jika hidup memang benar sebuah kompetisi, maka tentu ini adalah kompetisi yang sangat tidak adil. Semua orang memulai pertarungan dari garis start yang berbeda, dan memiliki garis finish yang berbeda pula.

Memangnya kriteria apa yang membuat seseorang layak dikatakan sebagai "pemenang"? Ketika kematian menjemput semua yang bernyawa, kita tidak lagi peduli dengan apa yang kita capai atau wariskan di dunia ini.

Satu-satunya yang kita pikirkan adalah, apa yang kita lakukan dengan umur kita dan apakah kita cukup bahagia menjalaninya?

Saya pikir terus melangkah maju tanpa bersaing dengan siapa pun itu sudah cukup. Ketika seseorang berupaya untuk menjadi dirinya sendiri yang sejati, persaingan jelas akan menjadi penghalang yang serius.

Mungkin ini adalah pandangan yang (sangat) subjektif. Akan tetapi, ada sesuatu yang baik tentang subjektivitas: hal ini membuat kita bisa memilih sendiri apa yang memang terasa berguna untuk kita.

Dalam kata-kata Lao Tzu, "Ketika Anda puas menjadi diri sendiri dan tidak membandingkan atau bersaing, semua orang akan menghormati Anda."

Kita selalu ingin belajar lebih banyak dan menikmati apa yang ada. Saya percaya bahwa untuk menjadi demikian, kita mesti melepaskan (atau setidaknya mengendalikan) hasrat kompetisi kita dan menggantikannya dengan cinta pada semua orang, terutama diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun