Suatu ketika, Ibu menghampiriku dan berbisik, "Ambil waktumu dan tidurlah." Kala itu sekitar pukul 10 malam dan aku masih berputar-putar dengan lembaran kertas di sekelilingku yang berantakan.
Mulanya aku berpikir bahwa ucapan semacam itu hanyalah petuah biasa. Maksudku, semua ibu di dunia ini pernah mengucapkan perihal itu sebagai bentuk perhatian terhadap kesehatan anaknya.
Itulah mengapa aku jarang sekali menuruti nasihat tersebut. Alih-alih menikmati ranjang yang empuk, aku lebih suka berlarut-larut dengan tugas kuliahku dan membaca beberapa buku yang kiranya menarik perhatianku.
Malam berikutnya, Ibu kembali berbisik dengan petuah yang sama, "Ambil waktumu dan tidurlah." Aku sama sekali tidak marah, tetapi aku balik berpesan, "Mohon berhenti untuk memberitahuku tentang sesuatu yang sudah kuketahui dengan benar."
Dia tersenyum lembut dan hanya membelai rambutku yang panjang sembari berdiri tegak di belakangku.
"Orang bilang, buah apel jatuh tidak jauh dari pohonnya," ucapnya, "Ibu juga mengalami masa muda sepertimu, dan karenanya Ibu ingin kamu belajar lebih cepat dari penyesalan yang Ibu alami."
"Ibu bisa bercerita padaku besok pagi ketika sarapan," kataku. "Sekarang aku benar-benar sibuk dan membutuhkan konsentrasi. Aku janji akan segera pergi tidur setelah menyelesaikan tugas kuliahku."
Tanpa sepatah kata pun, dia pergi menuju pintu kamar tepat setelah mencium ubun-ubunku. Tidak ada rasa bersalah dalam diriku; begitu pun Ibu yang sangat kuyakini memahamiku, toh dia pun mengatakannya padaku bahwa dia pernah mengalami masa muda sepertiku.
(Dan ngomong-ngomong, Ibu tidak bercerita apa pun ketika tiba waktunya sarapan. Aku hanya mengira bahwa Ibu tidak mengingat perkataanku, atau memang sengaja tidak diceritakan setelah dipertimbangkan secara matang.)
Tetapi berhari-hari kemudian, Ibu datang kembali di waktu yang persis dan petuah yang sama. Terus terang, saat itu aku mulai merasa kesal pada Ibu karena selalu mengganggu dengan membisikkan sesuatu yang kuketahui dengan benar.
Kini aku duduk di tepi makam tanpa bunga dan menangis. Apa yang paling kusesali sejauh ini adalah, aku baru merenungkan bisikan Ibu setelah kutatap dalam-dalam batu nisannya.Â
Bahkan lebih menyedihkannya lagi, aku baru terdorong untuk memahaminya karena sekarang adalah hari ibu.
Mengapa aku harus menunggu setahun penuh untuk menyadari cinta Ibu? Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri dengan melupakan sumber darah-dagingku? Padahal dalam setiap aliran darahku telah mengalir cinta seorang perempuan yang kusebut "Ibu".
Adikku, kuberitahu padamu sesuatu yang penting sebelum kau mengalami penyesalan yang sama sepertiku dan juga Ibu. Jika kau tiba-tiba teringat dengan beberapa nasihat Ibu, kumohon segera untuk mencatatnya supaya di lain waktu, kita bisa merenungkannya bersama.
Petuah "Ambil waktumu dan tidurlah" bukan sekadar perhatian Ibu untuk mengingatkanku betapa pentingnya menjaga kebugaran tubuh. Di balik frasa membosankan itu, Ibu ingin aku mengerti tentang sesuatu yang lebih mendalam; sesuatu yang kini kusadari sebagai cermin kehidupan.
Aku tidak melebih-lebihkan. Pertama, aku melihat kembali bagaimana pola Ibu mengucapkan petuah itu. Dia selalu membisikkannya pukul 10 malam (yang mana itu adalah waktu tidur keluarga kecil kita) dan hanya ketika aku sibuk dengan tugas kuliahku.
Ibu tampaknya mengerti bahwa keterlambatan waktu tidurku selalu berhubungan dengan tugas kuliah atau kehendakku sendiri untuk membaca buku. Di luar itu, aku tidak pernah terlambat untuk pergi tidur, apalagi hanya sekadar menggeser layar beranda Instagram.
Sekilas aku sering berpikir bahwa itu bagus; Ibu pasti bangga padaku betapa putri sulungnya amatlah rajin dan lebih-lebihnya berprestasi.
Aku mendengar teman-temanku sering dipaksa belajar hingga larut malam oleh ibunya, dan karenanya aku mengira Ibu akan sangat bangga bila aku melakukan itu dengan sukarela. Toh aku pun memang suka membaca buku; Ibu tidak perlu repot-repot memaksaku.
Tetapi sesungguhnya, di mata Ibu, semua itu hanyalah satu kisah kecil dari untaian panjang alur kehidupan. Ibu tidak ingin aku kehilangan waktu untuk menikmati kisah besar lainnya dari kehidupan yang singkat ini.
Pemahaman semacam itu sama sekali bukan bermaksud untuk meremehkan perjalanan akademikku.
Aku merasa suatu petuah turun dari surga, "Sewajarnya saja, Putri Kecilku; tidak ada yang memaksamu selain dirimu sendiri. Tidak ada yang membebanimu selain tekanan dari pikiranmu sendiri."
Meskipun aku tidak tahu angin macam apa yang membawa bisikan itu padaku, namun tentulah Ibu yang menyampaikannya padaku dari dunia sana.
Jika aku berlakon sebagai peramal, kiranya Ibu amatlah mengerti tentang kedalaman hatiku yang rapuh dan karenanya berusaha untuk meyakinkanku dengan petuah membosankan, "Ambil waktumu dan tidurlah."
Perlahan aku mulai mengerti apa penyesalan yang Ibu maksud di malam itu. Aku pikir Ibu sama terjebaknya sepertiku sekarang: termakan ambisi untuk meraih pujian orang dengan jalan mengorbankan keindahan yang pada dasarnya melingkupi kita setiap waktu.
Ketika Ibu pada akhirnya menyadari kelalaiannya itu, Ibu kehilangan waktu untuk mencatat ulang kisah hidupnya dan hanya pasrah menerima panggilan Tuhan untuk pulang menuju kesejatiannya.
Tentu sangat menyakitkan setiap kali teringat bahwa kita (artinya aku dan kamu) harus menikmati masa muda di tengah kepahitan hidup tanpa Ayah dan Ibu. Kendatipun begitu, aku selalu mengerti bahwa pada saatnya, semua ini memang akan menimpaku.
Sesungguhnya mereka tidak menghilang dari kehidupan kita, Adik Kecilku. Justru mereka hadir lebih dekat dalam diri kita, dan hanya kitalah yang harus memilih untuk menghadirkannya alih-alih dimabukkan oleh kesedihan.
Kuulangi sekali lagi: mereka membutuhkan kita untuk bisa hadir dalam diri kita, sebab situasinya memang bergantung pada pilihan kita.
Ibu mengajarkanku banyak hal tentang kehidupan, meskipun dengan cara-cara yang sulit kupahami. Tetapi bukankah cara demikian pula yang kemudian melatihku untuk berpikir serta bernalar secara mendalam, dan yang lebih pentingnya lagi, senantiasa mengingat Ibu?
Belakangan kusadari bahwa kecintaanku terhadap buku adalah sesuatu yang diajarkan Ibu semenjak aku kecil. Mungkin karena itulah aku terlambat untuk membaca sejarah diriku sendiri.
Ibu adalah seseorang yang membukakan gerbang cintaku untuk ilmu pengetahuan. Dan menakjubkannya, Ibu melakukan itu bukan dengan paksaan, melainkan lewat kepercayaannya padaku untuk memahami pesan-pesannya.
Seorang anak adalah peniru yang ulung, dan aku yakin Ibu sangat mengerti itu. Sebagaimana kamu melihat Ibu sangat tekun mengaji buku, aku pun melihatnya demikian sejak kesadaranku mulai matang.
Dengan kebiasaannya tersebut, Ibu seolah menampilkan dirinya sebagai cermin teladan dan betapa kita memerhatikannya tanpa disadari. Dalam jangka waktu tertentu, kita semakin bertanya-tanya tentang apa menariknya membaca buku, dan kita pun coba menirunya.
Aku ingat di usia 5 tahun, Ibu menceritakanku novel-novel tipis setiap malam dan selalu bertanya padaku tentang apa yang kupelajari dari cerita itu. Aku tidak pernah takut menghadapi pertanyaan itu, sebab Ibu tidak pernah menekanku.
Ibu tampaknya berhasil menyampaikan pesan itu padaku. Sejak awal remaja, aku sangat suka membaca buku dan menceritakannya kembali pada Ibu dengan imajinasiku sendiri. Di sanalah aku mengerti bahwa belajar itu, mestilah membahagiakan.
Sekali lagi, setiap anak adalah peniru yang ulung. Sama seperti seorang ayah yang sering merokok di hadapan anaknya, dia akan penasaran tentang bagaimana rasanya merokok, dan mungkin kemudian sama kecanduannya seperti ayahnya.
Kusadari dengan penuh kelegaan dan kekaguman: Ibu mendidik kita dengan manusiawi. Ibu seolah amatlah mengerti tentang kedalaman manusia dan menerapkannya pada kita.
Mengapa aku menyebutnya manusiawi? Karena hanya hewan sirkus yang dididik dengan paksaan dan lecutan tali yang menyakitkan.
Ibu tidak mendidik kita dengan harapan, melainkan dengan cinta yang benar-benar murni sejernih sungai yang mengalir di kedalaman surga. Ketahuilah Adikku, ada perbedaan kontras di antara keduanya, dan karena itulah aku menulis surat ini untukmu.
Jika Ibu mendidik kita dengan harapan, Ibu akan sama seperti kebanyakan ibu lainnya yang menaruh ekspektasi tertentu terhadap anaknya.
Dengan cara ini, cinta seorang ibu tidaklah murni karena masih dinodai motif "dagang" bahwa dirinya sudah sangat sakit melahirkan anaknya, maka anaknya harus sukses sebagai timbal balik dari rasa sakit tersebut.
Ironisnya, ada banyak sosok ibu yang masih melakukan semacam transaksi dengan anaknya. Dan seperti yang kita tahu, manusia manapun tidak suka dibebani oleh sesuatu yang tidak disukainya, dan itu benar-benar cerita yang menyedihkan.
Orang tua yang demikian menjadi semacam "tuhan alternatif" karena berusaha untuk menentukan jalan hidup anaknya, meskipun dalam kadar tertentu tidaklah keliru.
Andaikan Ibu termasuk tipe ini, mungkin Ibu akan menekan kita supaya aku menjadi saintis dan kamu menjadi atlet sepak bola. Tetapi Ibu tidak pernah melakukan itu pada kita, dan kau tahu itu. Kau tahu mengapa?
Ibu mendidik kita dengan cinta, bukan harapan.
Suatu ketika Ibu pernah berkata padaku, "Ibu tidak tahu bagaimana caranya menjadi seorang ibu untuk kalian. Apa yang Ibu tahu, kalian adalah darah-daging Ibu sendiri dan tidak ada hal lain yang Ibu warisi kepada kalian selain cinta."
Dan sekarang, aku bisa merasakan dalam setiap aliran darahku terkandung benih-benih cinta yang dulu Ibu tanamkan padaku. Cobalah pikirkan lebih mendalam perihal itu; aku sudah memberimu petunjuk sepanjang tulisan ini.
Meskipun tidak diakui oleh dunia, tetapi Ibu adalah satu-satunya filsuf yang kita miliki dalam kehidupan kita, dan aku yakin Ayah juga demikian andaikan dia hidup lebih lama dan melihat kita tumbuh dewasa.
Jadi Adik Kecilku, meskipun aku jauh darimu, tetapi rentang jarak yang memisahkan kita tidaklah berarti apa-apa, sebab Ayah dan Ibu selalu mendekatkan kita dengan cara yang tak terjelaskan.
Kita dilahirkan dari rahim yang sama, dan karenanya kita dianugerahi oleh cinta yang sama; dari seorang perempuan yang menangis tanpa air mata dan memeluk kita di bawah naungan bintang-bintang pada suatu malam.
Aku ingin memberitahumu satu hal: ingat kembali semua nasihat Ibu dan renungkan perlahan-lahan secara mendalam. Kau mesti bersabar untuk melakukannya.
Pikirkan sekali lagi; hal-hal yang indah memang sering menyembunyikan dirinya dari kita.
Lihatlah bersamaku seluruh kehidupan yang indah sekaligus mengerikan ini. Meskipun kita sering mati diterjang arus kehidupan yang ganas, tetapi Ibu akan selalu membuat kita terlahir berkali-kali, sekalipun eksistensinya sudah tiada.
*Catatan pengarang: meskipun cerpen ini hanyalah fiksi, tetapi saya menyelipkan kebenaran di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H