Terkadang aku bingung: mengapa hanya sedikit orang yang menikmati keindahan pantai di malam hari? Langit gelapnya yang berkilauan, desiran ombak yang tenang, jalanan berpasir yang lembut, kicauan burung yang gaduh; aku pikir itulah yang disebut kesempurnaan.
Tetapi mungkin saja aku tidak akan pernah berpikir demikian jika pria ringkih ini tidak mengajakku ke sini setiap Minggu malam. Dia adalah seseorang yang pada akhirnya, dengan penuh ketulusan, aku panggil Abi.
"Apakah Abi percaya dengan hantu?" tanyaku padanya yang sedari tadi penuh tatapan kosong.
"Ya, aku percaya," jawabnya sembari mengangkat pandangannya ke langit dengan penuh tatapan biru.
Aku benar-benar heran dengan jawaban itu, jadi kupikirkan sejenak sebelum kembali bertanya. Entah mengapa tanganku tiba-tiba menggenggam tangan kirinya, dan dia seperti tidak peduli dengan hanya melanjutkan langkahnya yang menyapu beberapa gundukan pasir.
"Aku kira Abi tidak percaya dengan hal-hal semacam itu."
"Apa? Bukan, bukan," sergahnya seraya tertawa dan menatapku. "Hantu yang kumaksud bukanlah hantu yang banyak dibicarakan orang. Lihatlah apa yang ada di atasmu, Hanna! Langit dipenuhi dengan hantu."
Dia jelas membuatku semakin bingung, dan tampaknya dia pun tahu itu. "Mari kita duduk sejenak," ajaknya.
Lantas kami duduk di hamparan pasir yang dingin, sesekali merasakan percikan ombak yang membawa beberapa kerang kecil yang malang. Dia melanjutkan, "Pilih satu bintang yang kausukai."
Dengan spontan, aku menunjuk satu titik cahaya mungil di sebelah timur. Bintang itu seperti kesepian karena rentang jaraknya dari bintang-bintang lain yang begitu jauh. Tetapi menariknya, bintang itu tampak tidak berkedip seolah cukup tangguh untuk menahan tangisnya.