Para koruptor sering beraksi dengan cara yang halus hingga membuat publik (nyaris) tidak menyadarinya. Mereka tampak tidak menyalahi segala hukum formal karena semua itu seolah memang dirancang untuk membenarkan tindakannya.
Meskipun dua tahun belakangan merupakan masa yang sulit, tindakan korupsi sama sekali tidak surut. Justru, keputusasaan dalam masa krisis dimanfaatkan untuk menghipnotis rakyat dengan sekelumit kisah heroik.
Mereka datang memberi paket bantuan bagaikan malaikat pelipur lara, tetapi pihak yang menerima kiranya tidak pernah tahu bahwa hak pribadinya telah dipangkas sepuluh ribu rupiah. Tampaknya Robin Hood dalam wujudnya yang lain telah muncul dengan mengejutkan.
Tindakan korupsi dianggap sebagai keputusan yang wajar mengingat betapa besarnya "biaya kampanye", dan semua kengerian tentangnya hampir dicabut oleh dogma yang semena-mena. Ironisnya, kejahatan korupsi tidak lagi menakutkan untuk dilakukan.
Korupsi menjadi sebentuk hegemoni yang dilihat sebagai sesuatu yang biasa, dan malahan dianggap wajar serta bernilai baik. Inilah yang kemudian disebut dengan banalitas kejahatan oleh Hannah Arendt.
Pada tahun 1961, Arendt melaporkan untuk The New Yorker tentang pengadilan kejahatan perang yang dilakukan Adolph Eichmann, seorang operator Nazi yang bertanggung jawab untuk mengatur pengangkutan jutaan orang Yahudi ke berbagai kamp konsentrasi.
Dalam laporannya, Arendt menganggap Eichmann sebagai seorang birokrat biasa, agak hambar, serta kata-katanya selalu berulang yang tidak terkesan sesat atau sadis dan justru terkesan begitu normal.
Eichmann bertindak tanpa motif apa pun selain mematuhi perintah otoritas dan memajukan kariernya di partai Nazi. Menurut Arendt, dia melakukan perbuatan jahat tanpa niat jahat; sebuah kesimpulan yang aneh mengingat kenyataan tindakan jahatnya yang begitu bengis.
Kasus Eichmann mengingatkan saya pada tokoh utama dalam novel Albert Camus, The Stranger (terj. Orang Asing), yang secara acak dan hampir tanpa kesadaran membunuh seorang pria di tepi pantai, tetapi kemudian setelah itu merasa tidak menyesal.
Tidak ada niat khusus atau motif jahat yang jelas: tragedi itu "terjadi" begitu saja.