Dulu dibutuhkan keberanian dan ketangkasan di medan tempur supaya seseorang bisa dikenang sebagai "pahlawan". Ketika peperangan mulai reda, kepahlawanan mulai diukur dari kecerdasan dan kepedulian terhadap sesama.
Kini kita hidup dalam masa kejayaan media sosial. Apa yang terjadi di depan kita bukan lagi pertempuran fisik yang mencipratkan darah musuh ke wajah kita, melainkan pertempuran informasi yang membingungkan dan kegilaan narsisisme.
Pahlawan kita terdahulu jelas berjuang untuk bangsa dan negara, menghadapi musuh yang kebanyakan sudah dapat dikenali dalam sekilas mata. Sekarang kita terjebak dalam dilema publik yang menyamar rapi sebagai kegembiraan.
Di tengah-tengah kemayaan seperti sekarang, kita berhadapan dengan musuh yang samar-samar untuk dikenali. Kita terperosok ke dalam "dunia abu-abu". Kadang-kadang kawan berubah menjadi lawan, dan lawan secara tidak disangka adalah kawan.
Ironisnya, kita kerap mendapati bahwa diri kita sendirilah musuh yang sesungguhnya.
Lebih sialnya, banyak dari kita bersikap seolah tidak tahu tentang apa permasalahan yang tengah terjadi dan merasa semua ilusi sebagai kondisi wajar yang diniscayakan oleh kemajuan peradaban.
Tetapi jika adab manusia merosot, bukankah itu kemunduran per(adab)an manusia?
Saya pikir bagaimanapun juga, bukan media sosial yang layak dipersalahkan atas semua kekacauan ini. Media sosial hanyalah alat yang baik-buruknya tidak ditentukan oleh dirinya sendiri, melainkan oleh penggunanya, yaitu kita semua.
Mungkin Anda berpikir bahwa racun itu buruk karena berpotensi membunuh orang. Tetapi pada dirinya sendiri, racun hanyalah racun; zat yang punya kemungkinan untuk membunuh orang atau hewan.
Tapi di sisi lain, racun juga sangat mungkin untuk digunakan sebagai kemaslahatan manusia, misalnya memusnahkan bangsa alien yang berupaya menguasai bumi dengan segala teknologi canggihnya beberapa tahun mendatang. (Ha.ha)