Suatu ketika, Caligula selaku kaisar Romawi mendapatkan semacam pencerahan bahwa kepastian manusia adalah kematian, dan karenanya mereka tidak bahagia. Caligula pun meminta bawahan dan rakyatnya untuk menangkap kesadaran scandaleux itu dengan seksama.Â
Namun kemudian Caligula menggunakan kekuasaan absolutnya untuk bertingkah seperti dewa, menjalankan apa-apa yang begitu absurd seperti mengeksekusi mati beberapa orang tanpa pengadilan, ikut "mencicipi" istri bawahannya, mengadakan sayembara penyair yang "dimenangkan" oleh dirinya sendiri; dia menjadikan dirinya bagaikan "sang takdir" yang tidak terbantahkan.Â
Di depan khalayak, Caligula berujar, "Saya bilang besok akan terjadi kelaparan. Kalian semua tahu apa itu kelaparan: bencana. Jadi, besok di tempat kita akan ada bencana ... dan saya akan menghentikannya sesuka saya nanti."Â
Tanpa alasan dan tujuan, Caligula mengejawantahkan apa itu absurditas: "Akulah sampar," katanya lebih jauh.
Keremangan kisah tersebut dikemas dengan manis dalam naskah drama Albert Camus dengan judul Caligula. Camus kala itu masih berusia 25 tahun, persis seperti usia Caligula sewaktu dia naik takhta.Â
Naskah tersebut sedikitnya menggambarkan realitas politik yang kerap absurd; masa ketika politik dijadikan sebagai medan pertempuran kekuasaan dan kepentingan semata.Â
Camus bukan hanya berhasil mencerminkan realitas politik di masa lampau, tapi juga seolah hendak meramalkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa diramalkan.Â
Dewasa ini, tata politik memang banyak dicabut dari posibilitas terciptanya peradaban manusia yang harmonis.Â
Tata politik sekadar menjadi rangkaian kisah buruk pertikaian sehari-hari yang tiada senyap, berkicau atas nama "kebenaran" ketika yang ditampilkan hanyalah fatamorgana belaka.