Sekarang jika warga negara menyumbang pemikirannya lewat kritik, bersediakah mereka mendengarkannya tanpa kegamangan?
Wakil rakyat nyatanya tidaklah mewakili rakyat, melainkan berorientasi pada kepentingan pribadinya sebagai "rakyat" juga.Â
Penguasa tahu betul bahwa korupsi itu kejam, menindas yang miskin itu jahat, menggunakan mobil mewah di depan rakyat "jelata"(yang dulu memilihnya) adalah tidak etis; tapi toh mereka tetap melakukannya seolah tertimpa kekhilafan yang disengaja dan seperti seorang balita yang baru belajar moralitas.Â
Caligula dalam wujudnya yang lain ada di sekitar kita. Lantas apa mau dikata selain "absurd"?
Kita terkungkung dalam absurditas yang acapkali dipandang tabu untuk dibicarakan. Kadang orang terlalu takut untuk membongkar realitas yang kacau-balau, sebagian lainnya tidak bisa lagi tidur dengan nyenyak.Â
Tetapi menyangkal penyakit yang merambah ke seluruh tubuh bukanlah alternatif solusi untuk kesembuhan.Â
Rasa sakit bukanlah takdir yang mesti ditanggung dengan rasa lelah dan kalah, tetapi dihadapi dengan keingintahuan yang membara bagaikan psikolog yang memulihkan dirinya sendiri.
Demikian juga etika politik yang ditawarkan oleh Camus, yaitu pemberontakan. Pemberontakan di sini tidak berkaitan dengan anarkisme maupun radikalisme. Camus juga tidak mengonotasikannya pada pemberontakan kelas sosial dalam komunisme ala Marx.Â
Pemberontakan adalah perasaan jijik atas perampasan hak-haknya dan memperjuangkan nilai-nilai kebersamaan dalam semangat perjuangan.Â
"Seorang pemberontak mengatakan tidak, tetapi keacuhannya tidak menyiratkan penolakan. Dia juga seseorang yang mengatakan ya, sejak dia membuat gerakan pemberontakan pertamanya," urai Camus dalam bukunya The Rebel: An Essay on Man in Revolt.
Pemberontakan sejati adalah tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi.Â