Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Wajah Perpolitikan Indonesia dalam Absurdisme Camus

6 November 2021   08:08 Diperbarui: 10 November 2021   09:20 931
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kengerian absurditas masih menyelimuti perpolitikan kita | Ilustrasi oleh M Risyal Hidayat dari Antara Foto via theconversation.com

Suatu ketika, Caligula selaku kaisar Romawi mendapatkan semacam pencerahan bahwa kepastian manusia adalah kematian, dan karenanya mereka tidak bahagia. Caligula pun meminta bawahan dan rakyatnya untuk menangkap kesadaran scandaleux itu dengan seksama. 

Namun kemudian Caligula menggunakan kekuasaan absolutnya untuk bertingkah seperti dewa, menjalankan apa-apa yang begitu absurd seperti mengeksekusi mati beberapa orang tanpa pengadilan, ikut "mencicipi" istri bawahannya, mengadakan sayembara penyair yang "dimenangkan" oleh dirinya sendiri; dia menjadikan dirinya bagaikan "sang takdir" yang tidak terbantahkan. 

Di depan khalayak, Caligula berujar, "Saya bilang besok akan terjadi kelaparan. Kalian semua tahu apa itu kelaparan: bencana. Jadi, besok di tempat kita akan ada bencana ... dan saya akan menghentikannya sesuka saya nanti." 

Tanpa alasan dan tujuan, Caligula mengejawantahkan apa itu absurditas: "Akulah sampar," katanya lebih jauh.

Keremangan kisah tersebut dikemas dengan manis dalam naskah drama Albert Camus dengan judul Caligula. Camus kala itu masih berusia 25 tahun, persis seperti usia Caligula sewaktu dia naik takhta. 

Naskah tersebut sedikitnya menggambarkan realitas politik yang kerap absurd; masa ketika politik dijadikan sebagai medan pertempuran kekuasaan dan kepentingan semata. 

Camus bukan hanya berhasil mencerminkan realitas politik di masa lampau, tapi juga seolah hendak meramalkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bisa diramalkan. 

Dewasa ini, tata politik memang banyak dicabut dari posibilitas terciptanya peradaban manusia yang harmonis. 

Tata politik sekadar menjadi rangkaian kisah buruk pertikaian sehari-hari yang tiada senyap, berkicau atas nama "kebenaran" ketika yang ditampilkan hanyalah fatamorgana belaka.

Albert Camus | Gambar via themarginalian.org
Albert Camus | Gambar via themarginalian.org

Absurditas, bagi Camus, muncul dari ketegangan antara keinginan kita untuk kebermaknaan dengan alam semesta yang acuh tak acuh untuk menyediakan itu. Absurditas adalah kesadaran tajam manusia atas kontradiksi dan irasionalitas kesehariannya. 

Dalam esainya Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), Camus menggambarkan kerinduan umat manusia akan keteraturan dan kebermaknaan dengan tokoh mitologi Yunani Sisifus, yang dikutuk selamanya oleh para dewa untuk menggulingkan batu ke puncak gunung, hanya untuk membuatnya jatuh lagi ke bawah.

Sesungguhnya tidak ada definisi baku tentang apa itu absurditas, karena jika difiksasikan dengan pakem-pakem tertentu, absurdisme tidak ada pada dirinya. Maka kita tidak perlu "menjelaskan" apa itu absurditas, sebab masalahnya bukan pada konsep, teori, atau penjelasan. 

Bagaikan Sisifus yang merangkul absurditas dan menerima kesia-siaan tugasnya alih-alih menyerah atau bunuh diri, yang lebih penting bagi Camus adalah "bagaimana aku harus bertindak".

Jika Camus mengatakan hidup ini absurd, maka saya percaya bahwa realitas politik juga absurd. Belakangan, perpolitikan Indonesia tengah berada dalam spektrum tersebut. 

Kita berusaha menemukan kebenaran dalam kepalsuan; menelusuri kilauan makna dari pertunjukan yang nihil makna. Kebohongan menyamar dalam topeng kejujuran, dan ilusi-ilusi merasuk senyap ke dalam berbagai data informasi. 

Penindasan merangkak dengan halus dalam selimut legalitas, dan ketika mereka hadir di depan pintu rumah, orang baru menyadari kengeriannya dan hanya bisa menerima akibatnya.

Mereka tampak tidak menyalahi segala hukum formal karena semua itu memang dirancang untuk membenarkan tindakannya. 

Sebuah keluarga mungkin tidak tahu bahwa paket bantuannya telah dipangkas sepuluh ribu rupiah, dan malah bersorak kepada mereka sebagai pahlawan atau semacam malaikat pelipur lara bagi siapa pun yang kehilangan harapan. 

Keputusasaan dalam masa krisis dimanfaatkan untuk menghipnotis rakyat dengan sekelumit kisah heroik.

Demokrasi pun diagung-agungkan, tapi toh suara oposisi sering dibungkam oleh keindahan frase "kebebasan yang melampaui". Konon, demokrasi kita adalah "Demokrasi Nusantara" dengan asas gotong royong. 

Sekarang jika warga negara menyumbang pemikirannya lewat kritik, bersediakah mereka mendengarkannya tanpa kegamangan?

Wakil rakyat nyatanya tidaklah mewakili rakyat, melainkan berorientasi pada kepentingan pribadinya sebagai "rakyat" juga. 

Penguasa tahu betul bahwa korupsi itu kejam, menindas yang miskin itu jahat, menggunakan mobil mewah di depan rakyat "jelata"(yang dulu memilihnya) adalah tidak etis; tapi toh mereka tetap melakukannya seolah tertimpa kekhilafan yang disengaja dan seperti seorang balita yang baru belajar moralitas. 

Caligula dalam wujudnya yang lain ada di sekitar kita. Lantas apa mau dikata selain "absurd"?

Kita terkungkung dalam absurditas yang acapkali dipandang tabu untuk dibicarakan. Kadang orang terlalu takut untuk membongkar realitas yang kacau-balau, sebagian lainnya tidak bisa lagi tidur dengan nyenyak. 

Tetapi menyangkal penyakit yang merambah ke seluruh tubuh bukanlah alternatif solusi untuk kesembuhan. 

Rasa sakit bukanlah takdir yang mesti ditanggung dengan rasa lelah dan kalah, tetapi dihadapi dengan keingintahuan yang membara bagaikan psikolog yang memulihkan dirinya sendiri.

Demikian juga etika politik yang ditawarkan oleh Camus, yaitu pemberontakan. Pemberontakan di sini tidak berkaitan dengan anarkisme maupun radikalisme. Camus juga tidak mengonotasikannya pada pemberontakan kelas sosial dalam komunisme ala Marx. 

Pemberontakan adalah perasaan jijik atas perampasan hak-haknya dan memperjuangkan nilai-nilai kebersamaan dalam semangat perjuangan. 

"Seorang pemberontak mengatakan tidak, tetapi keacuhannya tidak menyiratkan penolakan. Dia juga seseorang yang mengatakan ya, sejak dia membuat gerakan pemberontakan pertamanya," urai Camus dalam bukunya The Rebel: An Essay on Man in Revolt.

Pemberontakan sejati adalah tindakan yang dimotivasi oleh kepedulian terhadap kebaikan bersama daripada kepentingan pribadi. 

"Penegasan tersirat dalam setiap tindakan pemberontakan diperluas ke dalam sesuatu yang melampaui individu, sejauh itu menariknya dari kesendirian dan memberinya alasan untuk bertindak," ujar Camus. 

Kengerian absurditas masih menyelimuti perpolitikan kita | Ilustrasi oleh M Risyal Hidayat dari Antara Foto via theconversation.com
Kengerian absurditas masih menyelimuti perpolitikan kita | Ilustrasi oleh M Risyal Hidayat dari Antara Foto via theconversation.com

Absurditas, menurutnya, mesti dihadapi dengan "moral keterlibatan" dalam sebuah perjuangan bersama; pemberontakan kolektif. "Aku memberontak, maka aku ada," tegasnya.

Bersandar pada etika politik Camus, kita seyogianya "memberontak" pada ketidakadilan dan kekacauan yang setiap hari berada di depan wajah kita. 

Bila mengibaratkannya sebagai bencana, kita tidak boleh mencari ketenangan sendiri dan lalu membiarkan orang lain berada dalam kemelaratan. 

Pemberontakan ala Camus tidak memimpikan adanya telos/tujuan, tetapi kita berhak memberinya makna sebagai pemantik api yang membara dalam empati kita. 

Ketiadaan mimpi berarti penolakan yang tegas terhadap pamrih, dan kalau pun ada, maka bukan tugas kita untuk memikirkannya. 

Kita tidak perlu berharap pemberontakan kita akan menghentikan kekacauan yang ada, termasuk tanpa berilusi mengenai masa depan yang lebih gemilang; kita hanya harus menjalankannya sebagaimana Camus menyebutnya dengan "tugas kemanusiaan".

Kebatilan menelan dan menghancurkan setiap individu dalam putaran keniscayaan. Menurut Camus, tidak bisa tidak, kebatilan tersebut haruslah menjadi urusan "kita bersama". 

Mungkin pemberontakan yang kita lakukan bernilai sia-sia bila dipandang secara holistik. Kita tidak menyelamatkan orang dari mati kelaparan, tapi kita hanya menunda kematiannya untuk bisa merasakan lebih banyak kebahagiaan dan kelembutan kosmos. 

Kita tidak membersihkan korupsi dari teater kekuasaan, melainkan hanya membiarkannya "berhibernasi" hingga di kemudian waktu "terbangun" kembali. 

Tentu semua itu terdengar sangat ironis, tetapi memang itulah wajah sesungguhnya dari keabsurdan yang disuarakan oleh Camus.

Kengerian absurditas (masih) menyelimuti perpolitikan kita, dan kitalah yang membuatnya demikian. Politik hanyalah kanvas kosong yang bisa dilukis siapa pun, entah dengan keindahan maupun kecacatan. 

Kita sedang dicengkeram oleh realitas politik yang tercerabut dari makna sesungguhnya. Prinsip-prinsip tata keadilan dilindas tanpa kemanusiawian, bahkan tirani dalam bentuknya yang paling halus telah berkecambah dengan sunyi, nyaris tidak terdeteksi. 

Kini sudah waktunya untuk kita mempertanyakan apa arti dari semua ini. Dan jujur saja, saya mulai kedinginan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun