Absurditas, bagi Camus, muncul dari ketegangan antara keinginan kita untuk kebermaknaan dengan alam semesta yang acuh tak acuh untuk menyediakan itu. Absurditas adalah kesadaran tajam manusia atas kontradiksi dan irasionalitas kesehariannya.Â
Dalam esainya Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisifus), Camus menggambarkan kerinduan umat manusia akan keteraturan dan kebermaknaan dengan tokoh mitologi Yunani Sisifus, yang dikutuk selamanya oleh para dewa untuk menggulingkan batu ke puncak gunung, hanya untuk membuatnya jatuh lagi ke bawah.
Sesungguhnya tidak ada definisi baku tentang apa itu absurditas, karena jika difiksasikan dengan pakem-pakem tertentu, absurdisme tidak ada pada dirinya. Maka kita tidak perlu "menjelaskan" apa itu absurditas, sebab masalahnya bukan pada konsep, teori, atau penjelasan.Â
Bagaikan Sisifus yang merangkul absurditas dan menerima kesia-siaan tugasnya alih-alih menyerah atau bunuh diri, yang lebih penting bagi Camus adalah "bagaimana aku harus bertindak".
Jika Camus mengatakan hidup ini absurd, maka saya percaya bahwa realitas politik juga absurd. Belakangan, perpolitikan Indonesia tengah berada dalam spektrum tersebut.Â
Kita berusaha menemukan kebenaran dalam kepalsuan; menelusuri kilauan makna dari pertunjukan yang nihil makna. Kebohongan menyamar dalam topeng kejujuran, dan ilusi-ilusi merasuk senyap ke dalam berbagai data informasi.Â
Penindasan merangkak dengan halus dalam selimut legalitas, dan ketika mereka hadir di depan pintu rumah, orang baru menyadari kengeriannya dan hanya bisa menerima akibatnya.
Mereka tampak tidak menyalahi segala hukum formal karena semua itu memang dirancang untuk membenarkan tindakannya.Â
Sebuah keluarga mungkin tidak tahu bahwa paket bantuannya telah dipangkas sepuluh ribu rupiah, dan malah bersorak kepada mereka sebagai pahlawan atau semacam malaikat pelipur lara bagi siapa pun yang kehilangan harapan.Â
Keputusasaan dalam masa krisis dimanfaatkan untuk menghipnotis rakyat dengan sekelumit kisah heroik.
Demokrasi pun diagung-agungkan, tapi toh suara oposisi sering dibungkam oleh keindahan frase "kebebasan yang melampaui". Konon, demokrasi kita adalah "Demokrasi Nusantara" dengan asas gotong royong.Â