Kutulis catatan kecil ini untukmu, dan aku bertanya, "Apa artinya menjadi manusia ketika kau tidak bisa mengingat perasaan apa pun yang pernah membakar jiwamu dengan penuh gairah?"
Suatu hari kau bertanya padaku tentang manakah yang lebih penting bagiku: hidupku atau hidupmu? Aku berkata, "Hidupku," lalu kau pergi merajuk seperti seorang anak yang tidak mendapatkan permennya.
Tanpa kau tahu, engkaulah sejatinya hidupku itu. Engkaulah satu-satunya semesta mungilku dalam keabsurdan dunia ini.
Suatu waktu juga aku pernah berpikir sembari berbaring di bawah hujan bintang pada malam yang gemilang bahwa pada titik tertentu, aku akan kehilanganmu. Hanya saja aku tidak menduga akan secepat ini, dan tidak ada yang bisa kuharapkan lagi dari semuanya.
Mungkin kau tengah berada dalam rangkulan pria lain yang lebih mampu mengasihimu dengan pantas. Namun sebenarnya bukan hal itu yang membuatku benci; aku hanya jengkel pada diriku sendiri yang tidak becus mencintai seseorang.
Aku kehilangan nilai-nilai yang membuatku "mati rasa" terhadap segala sesuatu. Aku tidak lagi tahu apa itu cinta dan benci, tawa dan tangis, bahagia dan nestapa. Apa yang tersisa hanyalah perasaan "terbiasa", dan itu membuatku lesu sepanjang waktu seperti mayat hidup.
Ke mana sekarang Bumi akan berputar, Semesta Mungilku? Apa pun jawabanmu, aku mengikutimu.
Kadang kala aku membayangkan bahwa suatu hari, kita akan bertemu kembali dan bercakap-cakap seperti teman lama yang saling merindukan. Kemudian pada suatu malam tanpa rembulan, kau mengatakan sesuatu yang berharga tentang betapa kau mencintaiku.
Apa yang dapat kaulakukan jika jawabanku adalah "tidak"? Akankah kau membeku sebagaimana aku melakukannya ketika "tragedi" itu terjadi?
Semesta Mungilku, adalah mungkin bahwa dunia berjalan menuju pembalikan yang tidak pernah sedikit pun kaupikirkan. Detik ini aku mencintaimu dan mengharapkanmu, tetapi hari esok ... bukanlah milikku.