Aku suka hujan di kala sore. Di dalamnya terkandung ingatan masa lalu tentang seorang gadis bermata kelinci yang pernah meninggalkanku sendirian di taman kota.
Saat itu langit tengah mendung, dan aku mengucapkan sesuatu yang amat serius padanya tanpa kurencanakan sedikit pun.
Aku hanya berpikir bahwa momen itulah yang kutunggu-tunggu, tetapi dugaanku (sekali lagi) keliru hingga akhirnya tubuhku membeku total oleh dinginnya kelabu sore.
Aku merasa telah dianugerahi sihir yang membuatku bisa merasakan detak jantungnya yang tidak karuan, pun karenanya aku memaklumi kekosongan kata-kata darinya seperti tertutup oleh semacam mantra yang melumpuhkan mulutnya.
Sejenak dia menatapku dengan kemurungan yang membuatku bergidik, tapi aku tidak memerhatikan apa pun selain kedalaman matanya yang berlinang basah, dan itu cukup untuk menjelaskan semuanya.
Kemudian dia berlari menuju jalan utama seraya menutupi wajah dengan kedua tangannya, bahkan aku nyaris tidak tahu bagaimana dia bisa melihat sekitarnya dengan cara seperti itu.
Dia menghilang dari pandanganku oleh kabut yang dibawa gerimis, dan aku masih tidak tahu apa yang mesti kulakukan saat itu.
Kini hujan yang serupa kembali mengingatkanku tentang betapa menyakitkannya semua itu. Dia benar-benar pergi; maksudku kami tidak pernah bertemu lagi semenjak peristiwa (atau lebih tepatnya "tragedi") itu.
Aku ingat ketika dia tersenyum dan menggodaku, aku merasakan betapa bintang-bintang mengelilingiku dengan kehangatan yang tidak kutemukan di sudut dunia mana pun.
Kadang-kadang aku memohon pada Tuhan untuk bisa merasakannya sekali lagi, tapi aku tidak pernah mampu mengucapkannya secara harfiah karena aku terlalu malu terhadap-Nya. Apakah aku layak mendapatkan sesuatu yang kuinginkan?