Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengiyakan Kehidupan

12 Oktober 2021   18:30 Diperbarui: 12 Oktober 2021   18:41 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersediakah Anda untuk menganggukkan kepala dengan senang hati pada kehidupan? | Ilustrasi oleh Ekaterina Ershova via Pixabay

Saya menulis ini di belakang rumah yang menghadap langsung ke hamparan sawah. Embusan angin sore yang sejuk menampar pipi dengan lembutnya. Nun jauh di sana berdiri megah sebuah gunung yang tidak pernah saya ketahui apa namanya.

Tapi setiap kali saya melihat hijau-birunya yang memesona, saya selalu berpikir bahwa tempat tersebut juga merupakan rumah bagi saya. Permukaannya yang menyerap kehangatan mentari sore membuat saya sedemikian yakin bahwa kedamaian tengah ada padanya.

Secarik kertas di atas meja mengingatkan saya tentang betapa banyaknya agenda yang mesti saya selesaikan, tetapi pada momen ini, saya memilih untuk menarik diri sejenak dari kesibukan seraya menikmati alunan ukulele bersama secangkir cappucino.

Saya pikir, dunia sedang menunjukkan keindahannya pada saya, atau barangkali terbalik: sayalah yang berhasil menyingkap keindahan dunia.

Tentu bagi orang-orang tertentu, saya sedemikian angkuh karena melupakan keadaan mereka yang sedang bersusah hati di hadapan realitas. Justru karena itulah saya menyempatkan diri untuk menulis ini. Adalah tentang cara saya untuk senantiasa mengiyakan kehidupan.

Amor Fati

Pikirkan sesuatu yang benar-benar Anda benci dari kehidupan ini. Atau barangkali saya serap ke dalam pertanyaan, "Apa yang Anda pikir merupakan keburukan dari dunia? Apa hal-hal yang menurut Anda merupakan sesuatu yang tidak semestinya ada di kehidupan?"

Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang saya ajukan pada diri sendiri beberapa bulan lalu, dan saya menjawabnya dengan tiga hal: hidup ini tidak adil, manusia adalah serigala bagi sesamanya, dan setiap detik adalah tentang keabsurdan.

Saya tidak bisa memikirkan lebih jauh dari itu, tapi mungkin Anda bisa. Ungkapkan saja dengan penuh kejujuran dan keyakinan, sebab tidak seorang pun yang memedulikannya kecuali diri Anda sendiri.

Jika Anda sudah mendapatkan jawabannya, dapatkah Anda menjelaskan tentang mengapa semua itu bisa dibenarkan? Tapi pertanyaan yang lebih penting adalah, "Bersediakah Anda menerima semua itu sebagai fakta kehidupan?"

Jika bersedia, artinya Anda dengan sukarela merangkul semua itu dan membiasakan diri terhadapnya. Tetapi jika Anda menolak, percayalah, Anda akan selamanya terkungkung oleh kepahitan yang mana Anda tidak tahu lagi ke mana harus mencari jalan keluar.

Sumber nestapa adalah ketika kita berharap kehidupan berjalan sebagaimana kita mengharapkannya. Maka ingatlah bahwa kehidupan tidak pernah punya kewajiban untuk berada dalam genggaman Anda.

Tetapi, Anda dapat menggenggamnya sekaligus memeluknya tanpa sedikit pun menaruh ekspektasi terhadapnya.

Dan itulah yang sebenarnya saya usahakan selama ini: saya tidak memaksakan kehidupan berjalan sesuai dengan harapan saya, tapi sayalah yang akan merangkulnya sebagaimana seorang ibu selalu lebih dulu melakukan pendekatan terhadap anaknya.

Bagaimana untuk menjadi demikian? Dengan mengiyakan kehidupan.

Mengiyakan kehidupan berarti mengonfirmasi secara sukarela bahwa kehidupan punya sisi gelapnya tersendiri dan bahwa segala sesuatu tidak berada dalam kendali kita.

Mengiyakan kehidupan juga berarti menganggukkan kepala dengan penuh kelembutan sebagai bukti bahwa kita menerima apa pun yang takdir suratkan kepada kita dan menghadapinya seperti seorang kaisar menatap serius medan pertempurannya.

Setidak-tidaknya, katakan "ya" dulu supaya kita sadar tentang keberadaan masalah yang menimpa kita. Bagaimana kita bisa mencari solusi apabila kita sendiri menolak dan tidak sadar bahwa kita memiliki masalah?

Refleksikan kembali tentang bagaimana permasalahan tertentu menghancurkan Anda karena pada mulanya Anda meremehkannya, atau pertama-tama Anda melarikan diri darinya dan kemudian datang kembali dengan frekuensi yang lebih berat.

Masalah adalah konstanta dalam kehidupan kita. Siapa pun yang menolaknya, berarti dia juga menolak kehidupan.

Mengiyakan kehidupan bukanlah bentuk kepasrahan kita dengan duduk manis bersama secangkir kopi tanpa bertindak sedikit pun untuk menghadapi keabsurdan hidup ini.

Justru dengan mengonfirmasi kehidupan yang absurd, kita menjadi terbiasa dan akrab terhadap apa yang sejatinya menunggu di depan kita. "Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi pada Anda, melainkan bagaimana Anda bereaksi terhadapnya," urai Epictetus.

Menikmati kehidupan berarti menerima segala hal yang menjadi fakta kehidupan. Mereka yang menolak adalah mereka yang menganggap segalanya harus berjalan sesuai dengan idealismenya sendiri.

Pada akhirnya, mereka itulah yang terlempar dari realitas yang seada-adanya dan menjauh dari kesejatian hidup.

Barangkali Anda berpikir, "Tidak mungkin kita tercipta untuk melayani kehidupan. Justru kehidupanlah yang semestinya menjadi milik kita." Itu mungkin benar, tapi karena kehidupan adalah milik kita, tidak semua hal berada dalam kendali kita.

Jadi mengapa Anda mengusahakan sesuatu dengan mati-matian hanya untuk membuktikan bahwa Anda bukanlah pengendalinya?

Tapi kembali lagi pada prinsip "mengiyakan kehidupan", artinya saya dengan senang hati "melayani" kehidupan (baca: takdir), karena toh kehidupan juga balik membahagiakan saya ketika saya melakukannya.

Sama seperti bayi yang merupakan "dunia kecil" bagi ibunya; tempat di mana dia menemukan cinta dan kelembutan yang tidak didapatkannya dari manusia mana pun. Ketika bayinya menangis, sang ibulah yang harus lebih dulu melakukan pendekatan.

Jika tidak, anaknya akan kelaparan dan mungkin saja meninggal apabila diabaikan dalam waktu yang lama. Ketika anaknya itu tiada, justru sang ibulah yang pada ujung-ujungnya merasa hancur berkeping-keping.

"Dunia kecil" yang selama ini mengelilinginya telah berhenti berputar dan meledak bersama kilauan bintang-bintang yang berkhianat.

Sang ibulah yang sewajarnya melayani. Itu bukan berarti sang ibu telah "diperbudak" oleh anaknya sendiri; Anda tahu itu. Dan kehidupan, tempat di mana semua makhluk saling berkonflik kepentingan, meniscayakan kita untuk sesering mungkin menerimanya.

Saya membayangkan seorang kaisar yang berdiri gagah di hadapan medan pertempuran tanpa pengetahuan sedikit pun tentang apa yang ada di depannya. Tapi toh dia sedemikian kuat hingga merasa berani untuk menghadapi apa pun yang menjadi takdirnya.

"Rumusanku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah amor fati (...) Ini bukan hanya perkara menanggung apa yang perlu, apalagi menyembunyikannya (...), melainkan juga mencintainya," urai Nietzsche dalam bukunya Why I am So Clever.

Amor fati, bagi Nietzche, bukan sekadar persoalan keberanian kita untuk mengiyakan kehidupan (baca: takdir), apalagi pasrah terhadapnya. Amor fati melampaui penerimaan, sebab ia juga berarti mencintai kehidupan.

"... suatu hari aku hanya ingin menjadi Yea-sayer!" katanya. Yea-sayer di sini bukan dalam arti politik ataupun sosial, melainkan sebagai orang yang mampu menerima tanpa kompromi segala sesuatu yang ditawarkan realitas kepada kita.

Makna "ya" di sini, menurut saya, berada dalam konteks kenyataan; sesuatu yang memang sudah terlanjur menimpa kita. Jadi dalam konteks sesuatu yang masih ditawarkan pada kita, saya pikir kita berhak berkata "tidak" terhadapnya.

Ini penting karena ketika hal apa pun menimpa kita, bagaimanapun juga, semuanya hanya akan selesai jika kita mengiyakannya terlebih dahulu.

Dalam kata-kata Albert Camus, "Keinginan untuk hidup tanpa menolak apa pun dari kehidupan merupakan kebajikan yang paling saya hormati di dunia ini."

Semakin Anda berlari menjauh dari kehidupan, semakin Anda menjauh pula dari diri Anda sendiri. Maka pada akhirnya, Anda tidak tahu lagi ke mana jalan pulang.

Dan ya, berbahagialah, bukan karena segalanya berjalan baik, tapi karena Anda dapat melihat kebaikan dalam segalanya.

Seperti juga kata Epictetus, "Jangan mencari hal-hal terjadi seperti yang Anda inginkan; sebaliknya, berharaplah apa yang terjadi memang terjadi sebagaimana adanya: maka Anda akan bahagia."

Terimalah hal-hal yang mengikat Anda dengan takdir, dan cintai orang-orang yang dengannya takdir membahagiakan Anda. Saya selalu tahu bahwa ketika saya mulai tenggelam dalam kerinduan semesta, saya merasakan betapa hangatnya catatan takdir.

Jadi, ingatlah untuk hidup. Cukuplah menjadi manusia (yang sejati).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun