Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berdamai dengan Rasa Insecure

9 Oktober 2021   17:35 Diperbarui: 20 Oktober 2021   04:00 878
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perspektif kita terhadap rasa insecure memengaruhi respons kita terhadapnya | Ilustrasi oleh Sasin Tipchai via Pixabay

"Mengapa aku tidak lebih baik darinya?" tanya seseorang pada saya di suatu sore yang teramat oranye dan menyejukkan. 

Saya pikir pada titik tertentu, semua orang bertanya demikian, entah pada dirinya sendiri atau orang-orang terdekatnya.

Kita semua pernah terjebak dalam perasaan tidak aman (insecure); beberapa hanya lebih baik dalam menghadapinya, atau mungkin menyembunyikannya. Kita khawatir terhadap apa yang mereka pikirkan tentang kita dan acapkali merasa rendah diri di hadapan orang tertentu.

Apalagi dengan hadirnya media sosial, seakan kita terlempar ke tengah-tengah panggung kompetisi tentang siapa yang lebih baik dengan standarisasi yang kacau. Itulah mengapa kadang-kadang mereka yang berprestasi pada bidang tertentu tidak dihargai di sana.

Dari media sosial kita bisa tahu bahwa masyarakat kita menetapkan standar tertentu untuk menilai layak atau tidaknya seseorang dikatakan "sukses". 

Nilai-nilai kesuksesan sering menjadi "tren" tersendiri sesuai dengan siapa yang tengah populer di tengah masyarakat.

Fenomena semacam itu mendorong rasa minder bagi orang-orang yang berprestasi, yaitu mereka yang prestasinya tidak sesuai dengan apa yang sedang "tren" di masyarakat. Dalam kasus ekstrem, standar kesuksesan kita dipukul rata menjadi "A".

Ah, persetan dengan itu!

Budaya media sosial juga membuat kita mengharapkan persetujuan dengan tombol "like" dan "retweet", caranya lewat memamerkan tubuh yang luar biasa dan liburan serta kekayaan yang sedemikian melimpah. Tapi itu hanya memperburuk masalah; Anda tahu semua itu.

Faktanya, pada titik itulah rasa insecure menyerang kita. Perasaan minder membuat kita terlalu bergantung pada validasi eksternal, dan itu menyengsarakan.

Dikagumi atau dipuji hanyalah kepuasan singkat yang ujung-ujungnya berbalik ke dalam; menggali ke dalam diri sendiri untuk mendapatkan rasa percaya diri yang acapkali masih sulit dipahami.

Kita tidak perlu persetujuan orang lain untuk menjadi siapa diri kita yang sejati. Justru kesejatian hanya datang ketika kita berhenti mengemis konfirmasi dari luar dan mulai berdialog antara "me" dan "myself" tentang siapa kita di tengah panggung dongeng ini.

Kita tidak bisa berpikir untuk diterima oleh orang lain sebelum mula-mula kita menerima diri sendiri.

Orang lain hanyalah cermin bagi kita yang jika kita terlalu fokus padanya, kita terjebak dalam dunia bayang-bayang dan terlepas dari kesejatian diri kita. Silakan dengar komentar mereka, tetapi jangan biarkan mereka menentukan siapa kita.

Jika Anda menjalankan nilai-nilai orang lain, sayang sekali, peran itu sudah ada yang memainkannya. Yang tersisa hanyalah peran diri Anda sendiri yang selamanya tetap akan kosong jika Anda melarikan diri darinya.

"Ini adalah kepastian mutlak dari manusia bahwa tidak ada yang bisa mengetahui kecantikannya sendiri atau merasakan nilainya sendiri sampai hal itu dipantulkan kembali padanya di cermin manusia lain yang penuh kasih dan perhatian," urai John Joseph Powell.

Lagi pula, betapa kasihannya bila seekor ikan membayangkan dirinya bisa terbang seperti burung. Dia selamanya akan merasa menjadi ikan terbodoh di dunia.

Alarm Alami

Bagi saya, rasa insecure adalah alarm alami dalam jiwa manusia. Berulang kali saya coba meraba-raba ke dalam diri sendiri, dan kesimpulannya selalu sama bahwa itu hanya bagian dari kehidupan.

Ketika "alarm" tersebut berbunyi, artinya ada ruang kosong yang belum kita penuhi; ruang untuk lebih banyak pengembangan diri. 

Dengan menerima fakta ini, kita dapat merasa lebih nyaman dengan diri sendiri dan bahkan coba untuk menertawakannya.

Jadi seyogianya, rasa insecure itu tidak dihindari, apalagi dipendam seakan perasaan tersebut tidak pernah ada. Keresahan yang dipendam akan semakin memenuhi ruangan kita dan bahkan memengaruhi keputusan beserta tindakan kita.

Tidak ada yang bisa Anda lakukan jika Anda merasa insecure terhadap hal-hal yang memang tidak bisa Anda kendalikan sama sekali. 

Dalam hal ini, rasa insecure tidak muncul sebagai "alarm" yang konstruktif, melainkan bentuk penolakan terhadap anugerah Tuhan.

Misalnya Anda merasa insecure terhadap paras teman Anda. Apa yang bisa Anda lakukan untuk itu? Tidak ada, sebab paras adalah sesuatu yang niscaya "terlempar" kepada kita semenjak lahir.

Tetapi menjadi sesuatu yang bermanfaat jika Anda merasa insecure terhadap prestasi teman Anda yang memenangkan lomba menulis esai tingkat internasional. Itu berarti ada rentang jarak antara kemampuan Anda dan dia, pun di sanalah Anda dapat bergerak maju.

Dengan begitulah rasa insecure bukan untuk dipusingkan, apalagi dihindari, melainkan untuk dirangkul dan menjadi pengingat kita tentang betapa banyaknya ruang kosong dalam diri sendiri yang belum kita maksimalkan.

Tentu semudah itu, dan sesulit itu. Kita sering dikendalikan oleh emosi sesaat kita sehingga bagaimanapun juga kita berusaha mengutuknya. Tetapi bukan begitu cara kerja "manusia sejati".

Seorang manusia sejati mengerti bahwa apa yang selalu ada bukan untuk ditolak, melainkan untuk diberi pelukan hangat sehingga sesuatu itu menjadi temannya yang juga sejati.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Anda perlu menegaskan apa yang menjadi nilai-nilai Anda supaya "kemegahan" yang berada di luar kepentingan Anda tidak sedemikian mudahnya menggoyahkan kesejatian Anda. Pastinya Anda tidak ingin tersesat di jalur yang keliru.

Saya tidak pernah mengizinkan rasa insecure untuk membatasi saya. Saya selalu berpikir bahwa justru karena saya bukan siapa-siapa, saya merasa bebas untuk eksis menjadi diri sendiri tanpa perlu terikat oleh harapan-harapan orang lain.

Dengan kebebasan itulah saya dapat fokus pada hal-hal kecil yang saya tempuh setiap waktu. 

Saya menyadari bahwa rangkaian kisah saya tersusun atas titik-titik mungil yang meniti kesatuan besar dan kenikmatan yang tiada banding.

Kita sedemikian mudahnya mengabaikan hal-hal kecil hingga suatu waktu kita tersadar bahwa semua itulah yang selalu kita miliki.

Saya berhenti untuk tergoda meraih pencapaian besar versi orang lain, sebab risikonya adalah lantai yang licin sehingga melompat ke arah manapun akan membuat saya tergelincir dan kehilangan daya untuk melangkah kembali.

Apa yang saya fokuskan adalah pencapaian besar versi saya sendiri dengan peta jalan saya sendiri, dan begitulah saya menciptakan dunia pribadi yang menghangatkan, terlepas dari kapan pun semesta mendatangkan badai tornado.

Kita tidak perlu dan tidak bisa menjadi sempurna. Tapi secara prinsip, kita berhak mengejar nilai-nilai kesempurnaan itu sehingga apa pun yang kita lakukan, semuanya melahirkan hasil yang maksimal.

Kini satu hal lagi yang saya sadari bahwa meskipun ia ada dalam diri kita, perasaan insecure tidak dilahirkan bersama kita, melainkan dibuat oleh kita sendiri. Apa yang kita buat selalu dapat kita musnahkan, atau kendalikan.

Dan saya akan memilih yang kedua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun