"Terimalah cermin ini. Kau mendekati kebenaran; semua ini adalah bagian dari surga. Tidak semua orang menyadari itu, dan kau termasuk orang yang langka."
Si Bocah meraih cermin tersebut dengan hati-hati, tatapannya tertancap kuat pada ukiran indah yang menghiasi setiap sisinya. Begitu indahnya hingga Si Bocah merasa ingin menangis dan berterima kasih pada nenek tersebut.
Namun belum sempat mengucapkan apa-apa, Si Bocah sudah terbangun dari mimpinya yang aneh oleh hujan sinar fajar yang hangat sedikit temaram. Pukul berapa sekarang, Si Bocah tidak tahu. Melihat keadaan kota yang mulai bising, dia memprediksi ini sudah pukul 7 pagi.
Setelah menyegarkan kedua matanya, dia mengusap pintu toko di belakangnya sebagai ungkapan terima kasih pada pemilik toko yang sudah tidak mengusirnya semalaman tadi. Dalam kebanyakan toko yang dia tumpangi untuk tidur, mereka mengusirnya.
Dia merasa bahagia karena sempat mengalami mimpi tersebut. Meskipun meninggalkan kesan yang sangat aneh, mimpi itu tetaplah indah. Ladang anggur itu adalah bagian dari surga, kata sang nenek.
Dalam penderitaan yang dia hadapi di dunia nyata, mimpi selalu menjadi penghibur yang mengasyikkan. Mungkin itulah sebabnya Tuhan membiarkan umat manusia untuk bermimpi.
Banyak orang amat menderita dalam hidupnya, sehingga mungkin mereka sudah mati karena kesedihan seandainya saja mereka tidak memimpikan sesuatu yang indah di sela-sela penderitaan mereka.
Bunyi perutnya yang keroncongan menjadi pertanda bagi Si Bocah untuk segera pergi memulung. Meskipun belum tahu benda apa yang akan dia pungut, setidaknya dia menaruh harapan besar pada sebongkah kardus yang bisa ditukar sebungkus nasi.
Dia membawa karungnya yang sedari tadi tergeletak di depan pintu toko. Ketika "kantongnya" itu dibawa oleh Si Bocah, dia merasakan sesuatu yang janggal dari bentuk dan berat kantongnya. Sontak dia memeriksa isi kantong tersebut dan sepersekian detik matanya terbelalak.
Cermin antik itu ada di sana!
Tanpa berkata apa pun, dia mengeluarkan cermin tersebut dan memerhatikannya dengan seksama. Bersamaan dengan itu, dia berusaha sekeras mungkin untuk mengingat mimpinya tadi. "Ah, persis!" seru Si Bocah.