Tapi faktanya, kata "kebebasan" dalam adagium "kebebasan berbicara" tidak bisa diartikan demikian. Kalau mengartikan "kebebasan" secara harfiah, maka konsep kebebasan berbicara yang telah diakui sebagai hak asasi manusia berlaku mutlak.
Sekali lagi, faktanya tidak demikian.
Kebebasan berbicara hanyalah satu dari banyak hak asasi manusia yang diakui di Indonesia, bahkan di dunia. Dan dalam manifestasinya, semua hak yang dimaksud akan membentuk semacam sistem dalam Biologi di mana pelanggaran terhadap satu hak akan berakibat pada pelanggaran hak lain.
Keberadaan suatu hak juga berimplikasi pada adanya tanggung jawab. Tanggung jawab inilah yang kemudian kita sebut dengan "kewajiban". Di mana ada hak, di situ ada kewajiban; atau sebaliknya.
Misal, setiap orang berhak untuk hidup, maka timbul pula kewajiban yang menyertainya berupa kewajiban untuk tidak membunuh. Atau kewajiban warga negara untuk membayar pajak akan memunculkan hak di sisi lain berupa hak untuk menerima kelayakan fasilitas umum.
Begitu pun dengan hak kebebasan berbicara. Meskipun mengatasnamakan "kebebasan", tetap saja kebebasan yang dimaksud terbatas pada hak lain dan kewajiban yang muncul sebagai efek samping.
Anda dapat menemukannya dalam catatan hukum HAM di Indonesia maupun dunia bahwa kebebasan berbicara tidak dapat diakui sebagai mutlak, tetapi punya batas-batas tertentu yang berhubungan dengan pencemaran nama baik, fitnah, cabul, hasutan, sumpah palsu, keamanan publik, dan semacamnya.
Hal ini senada dengan "Harm Principle" yang dikemukakan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty.
Saya tidak akan membawa sumber hukum mana pun. Saya hanya akan bermain sederhana dengan mengandalkan logika.
Secara gamblangnya, kebebasan berbicara punya hubungan dengan hak lain yang membuatnya tidak berlaku mutlak. Seperti yang saya ilustrasikan tadi bahwa pelaksanaan HAM itu seperti memahami sistem dalam ilmu Biologi.
Satu saja rusak, maka seluruh unsur di dalamnya akan terganggu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!