Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hidup Sederhana dengan Kembali Menuju Hakikat

12 Juni 2021   17:33 Diperbarui: 12 Juni 2021   17:35 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jika Anda merasa sulit dalam menerapkan gaya hidup sederhana, maka Anda melakukannya dengan keliru | Ilustrasi oleh 5688709 via Pixabay

Ada banyak artikel yang berhamburan di internet tentang cara hidup sederhana, tetapi tidak satu pun dari mereka (sejauh saya membaca) yang memberitahu kita inti dari gaya hidup sederhana. Itulah mengapa penerapan gaya hidup sederhana terlihat sulit dan mustahil di era serba ada ini.

Apa yang mereka tuliskan hanyalah sekadar manifestasi dan keuntungan dari gaya hidup sederhana. Kemudian dibumbui dengan contoh kaum konglomerat yang punya kehidupan sederhana, berharap para pembaca bisa terinspirasi darinya. Menurut saya, bukan itu intinya.

Menilik dari bercecerannya artikel dan quote tentang gaya hidup sederhana, saya pikir ada satu dilematik yang menyulitkan banyak orang. Adalah kesalahpahaman mereka yang membuat penerapan gaya hidup sederhana sering menjadi impian belaka.

Di tengah kepongahan hedonisme seperti sekarang, banyak dari kita yang sadar betul bahwa gaya hidup sederhana teramat penting. Tetapi di sisi lain, keragu-raguan  datang mencekiknya akibat pikiran mereka yang mengaitkan hidup sederhana dengan hidup berkekurangan.

Kenyataannya tidak begitu. Kita mesti membedakan antara hidup sederhana dan hidup miskin, sebab kesalahpahaman inilah yang membuat kita malah menderita saat menerapkan gaya hidup sederhana.

Sederhana berarti secukupnya, bersahaja, atau tidak melebih-lebihkan. Maka hidup sederhana bukan berarti hidup dalam kemiskinan seperti yang selama ini diasumsikan orang-orang, melainkan hidup dalam taraf wajar di samping gelimangnya harta-harta Anda.

Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan "hidup dalam taraf wajar"? Apa parameter yang bisa kita gunakan untuk mengukur kewajaran sesuatu? Jawabannya sederhana, yaitu dengan memperlakukan segala sesuatu sesuai hakikatnya.

Kembali menuju hakikat

Dalam KBBI, hakikat berarti intisari atau dasar. Kata lain dari hakikat adalah esensi. Kendati demikian, saya lebih suka mengartikan hakikat sebagai kenyataan yang melekat pada sesuatu. Dan pada tulisan ini, hakikat juga bisa diartikan sebagai tujuan atau fungsi asali dari sesuatu.

Kaitannya dengan gaya hidup sederhana, kembali menuju hakikat berarti memperlakukan segala sesuatu sesuai kenyataan yang melekat padanya. Inilah inti dari gaya hidup sederhana: mengembalikan segala sesuatu pada hakikat asalinya.

Misal, hakikat dari sebuah bantal adalah alat penyangga kepala yang empuk agar tidur kita lebih nyaman. Maka hidup sederhana berarti memperlakukan bantal sesuai dengan hakikatnya. 

Ketika Anda rewel ingin bantal warna pink dan bergambar hello kitty, maka itu sudah tergolong berlebihan.

"Tapi saya tidak akan bisa tidur tanpa bantal semacam itu."

Omong kosong! Anda hanya belum terbiasa dengan itu. Segala harapan yang melebihi hakikat dari bantal merupakan skenario yang dirajut oleh pikiran Anda sendiri dan didramatisasi. Anda mampu melawan keinginan itu, sebab Anda adalah tuannya.

Dalam hal rumah, kita mengerti bahwa hakikat dari rumah adalah tempat bernaung dari dinginnya malam, basahnya hujan dan panasnya siang. Selama rumah kita memenuhi kriteria itu, sebenarnya terbilang cukup layak untuk disebut rumah, tidak peduli seberapa kecilnya rumah tersebut.

Hidup sederhana bukan berarti memiliki rumah kecil dan berpotensi cepat runtuh. Hidup sederhana berarti memiliki rumah yang tidak melebihi hakikatnya sebagai rumah. Jika ukurannya amatlah besar, itu juga tidak apa-apa selama kita punya alasan bagus untuk itu.

Tetapi dapat dikatakan berlebihan jika kita membangun rumah seperti istana yang sebenarnya hanya untuk dipamerkan ke semua tetangga.

Dengan ini kita tahu bahwa gaya hidup sederhana berarti menginginkan sesuatu tidak melebihi kebutuhan. Hal ini hanya akan terjadi apabila terjadi koneksi antara dua hakikat, yaitu hakikat subjek dan hakikat objek.

Nah, itu cukup membingungkan, jadi simaklah contoh berikut.

Saya sebagai subjek merasakan perut keroncongan tak tertahankan. Pada hakikatnya, saya merasa lapar. Solusi dari lapar adalah kenyang. Untuk bisa menjadi kenyang, saya mesti menyantap makanan. Maka sekarang, makanan akan berperan sebagai objek.

Hakikat dari makanan (objek) adalah mengenyangkan rasa lapar dan menyehatkan tubuh. Dengan begitu, saya akan membeli makanan yang memenuhi hakikat itu, sekalipun harganya murah dan tidak berkelas.

Ketika hakikat dari perut keroncongan bertemu dengan hakikat dari makanan, itulah yang sebenarnya menjadi inti dari gaya hidup sederhana. Dua hakikat tersebut saling terkoneksi dan saling melengkapi.

Jika salah satunya tidak bisa terhubung, maka demikianlah yang disebut hidup berlebihan atau kekurangan.

Misalnya, Anda (subjek) merupakan seorang manusia yang pada hakikatnya memerlukan sesuatu untuk menutupi aurat. Dan objek yang punya hakikat untuk menutupi aurat dengan nyaman adalah pakaian. 

Jika kedua hakikat tersebut saling terkoneksi, maka Anda sudah menerapkan gaya hidup sederhana.

Tapi dapat disebut hidup berlebihan jika Anda melebihkan-lebihkan satu atau semua hakikat dan dapat disebut hidup kekurangan jika mengurangi satu atau semua hakikat.

Katakanlah Anda membeli baju berharga mahal dan bermerek karena gengsi dengan teman. Itu berarti, Anda telah melebih-lebihkan hakikat baju dari yang tadinya menutupi aurat dengan nyaman menjadi sarana penguat gengsi. Dalam kasus ini, Anda punya gaya hidup berlebihan.

Kasus lainnya, jika Anda membeli baju robek atau tidak nyaman dipakai, berarti Anda telah mengurangi hakikat baju yang seharusnya untuk menutupi aurat dengan nyaman. Dalam kasus ini, Anda punya gaya hidup kekurangan.

Tidak peduli kapan waktunya, gaya hidup berlebihan atau kekurangan, pada akhirnya akan membuat Anda menderita.

Tentu tidak masalah jika Anda punya kelimpahan harta. Anda tidak mesti membuang separuh kekayaan Anda untuk menjalankan gaya hidup sederhana. 

Yang sepatutnya Anda lakukan adalah mengoneksikan antara hakikat subjek dengan hakikat objek. Tidak berlebihan dan tidak berkekurangan.

Dengan pemahaman ini, gaya hidup sederhana menjadi lebih masuk akal. Bagaimana pun bentuk praktiknya, aturan yang berlaku tetap sama. Kecocokan dua hakikat inilah yang kemudian menjadikan kita bersifat bijaksana.

Kembali menuju hakikat menjadi keterampilan yang amat penting di era hedonisme seperti sekarang. Kita dihadapkan pada sumber pemuas kebutuhan yang semakin beragam sehingga godaan-godaan itu terus merayu-rayu kita. Mereka datang seperti seorang nona berbaju merah di musim semi.

Inilah yang membuat kita sering menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Kita telah menyalahi hakikat dari banyak hal sehingga kehidupan ini terasa begitu sumpek, padahal kita sendirilah yang melebih-lebihkannya.

Seorang teman memiliki ponsel yang kaca layar pinggirnya sudah retak. Meskipun demikian, ponsel itu masih berjalan sebagaimana mestinya. Lantas saya iseng bertanya, "Tidak beli ponsel baru?"

"Tidak," katanya, "ponsel ini masih berfungsi dan memenuhi semua kebutuhanku dalam berkomunikasi."

Nah, disadari atau tidak, dia telah mengoneksikan dua hakikat yang saya jelaskan tadi. Dia (subjek) merupakan makhluk sosial yang pada dasarnya butuh berkomunikasi. Dan ponsel itu (objek) pada hakikatnya masih berfungsi dengan baik sebagai alat berkomunikasi.

Di situlah terjadi kelekatan dua hakikat yang berpadu menghasilkan gaya hidup yang secukupnya. Dan begitulah hidup sederhana.

Seandainya dia malah membeli ponsel baru, maka dia sudah tergolong hidup berlebihan. Tapi andai kata ponsel itu sudah tidak berfungsi dan dia tidak membeli ponsel baru, dia sudah tergolong hidup kekurangan.

Dengan ini kita tahu bahwa pengertian lain dari gaya hidup sederhana adalah menginginkan sesuatu tidak melebihi atau mengurangi kadar kebutuhan.

Dan Anda tahu perbedaan antara kebutuhan dan keinginan? Kebutuhan, apabila tidak dipenuhi, kelangsungan hidup kita akan terganggu. Sedangkan keinginan, jika tidak dipenuhi, kelangsungan hidup kita tidak akan terpengaruh.

Media sosial juga seharusnya menggunakan konsep ini. Pada hakikatnya, manusia punya kebutuhan akan hiburan dan ekspresi diri. Dan media sosial, pada hakikatnya, bertujuan untuk menghibur penggunanya dan sebagai tempat berekspresi.

Ketika kita mulai murung karena jumlah "suka" yang sedikit, kita telah melebih-lebihkan hakikat kita bahwa orang lain mesti menyukai kita. Begitu pula kita telah menyalahi hakikat dari media sosial yang tidak diciptakan untuk membuat kita dipuja-puja oleh sesama.

Pengetahuan hidup sederhana seperti ini menjadi penting dan cukup darurat di masa sekarang. Kita bisa melihat sendiri, bahwa segala keruwetan hidup yang kita rasakan kebanyakan datang dari diri kita sendiri yang suka mendramatisasi keadaan.

Ketika kita lapar, kita hanya butuh kenyang. Tetapi orang-orang yang rewel akan membeli makanan yang mahal-mahal dan berkelas, sebab di samping itu, mereka juga lapar akan pujian.

Ketika kita bosan, kita hanya butuh hiburan. Tetapi mereka yang menganggap hiburan hanya lewat bermain game akan merengek ingin membeli PS5, sebab di samping itu, mereka juga bosan dengan kehidupan.

Segala sesuatu yang keluar dari hakikatnya sudah bisa dikatakan sebagai berlebihan.

Pisau, pada hakikatnya merupakan alat dapur untuk memasak atau memotong benda-benda tertentu. Maka apabila seseorang menggunakan pisau untuk menikam leher temannya, dia adalah orang yang berlebihan.

Wajan, pada hakikatnya merupakan alat untuk memasak. Maka apabila seorang istri menggunakan wajan untuk memukul pipi suaminya, dia adalah orang yang berlebihan.

Pahami konsep itu, dan Anda akan mengerti apa yang saya maksud dengan gaya hidup sederhana.

Mengapa ini sulit?

Saya pikir, ada dua faktor yang menjadi penyebab sulitnya gaya hidup semacam ini.

Pertama, faktor internal, yaitu harapan atau ekspektasi diri kita sendiri yang berlebihan terhadap sesuatu. Ketika Anda membeli ponsel yang pada hakikatnya merupakan alat komunikasi, mungkin Anda juga menyimpan harapan bahwa ponsel itu akan meningkatkan status sosial Anda.

Dengan begitu, Anda akan tergoda untuk membeli ponsel mahal, yang sebenarnya tidak ada bedanya untuk Anda. Ekspektasi yang bercokol dalam pikiran Andalah yang pada akhirnya menjadi setan penggoda bagi diri Anda sendiri.

Kedua, faktor eksternal, yaitu paradigma masyarakat. Katakanlah Anda butuh kulkas untuk mengawetkan makanan tertentu yang cepat basi. Tapi karena takut ditertawakan oleh tetangga, Anda pun ingin membeli kulkas yang mahal di samping ketidakmampuan Anda untuk membelinya.

Di sinilah paradigma masyarakat telah menghambat Anda untuk bisa hidup sederhana atau secukupnya. Asumsi dari luar telah merasuk jauh ke dalam ketakutan Anda, hingga pada akhirnya, Anda sudah menjadi robot yang dikendalikan oleh mereka.

Dua faktor ini bisa saling terkait. Ketika paradigma masyarakat mengatakan A, maka harapan kita pun cenderung mengarah pada A. Dan apabila kita menuruti dua faktor itu, gaya hidup sederhana yang saya maksud tadi amatlah sulit untuk diterapkan.

Kita memang tidak punya kuasa untuk memiliki apa pun yang kita mau, tetapi kita punya kuasa untuk tidak menginginkan sesuatu yang belum kita miliki, dan berbahagia dengan apa yang kita miliki.

Hakikat Universal

Ada satu hakikat yang melekat pada segala sesuatu di dunia ini, yang saya istilahkan dengan Hakikat Universal. Dan Hakikat Universal yang saya maksud adalah, ketidakabadian.

Ya, segala sesuatu yang kita temukan di sini punya sifat rapuh dan sementara. Tidak peduli berumur detik, menit, jam, atau tahun; semua itu tetaplah akan musnah. Apa pun yang terdapat di muka bumi punya tenggat waktu yang terkadang tidak bisa diprediksi.

Maka, satu cara ampuh untuk bisa berbahagia dalam kehidupan adalah dengan memahami Hakikat Universal, bahwa segala sesuatu tidak abadi.

Dengan pemahaman itu, kita semestinya tidak melekatkan atau menggantung diri pada apa pun yang ada di dunia ini. Orang-orang tercinta, kucing kesayangan, jam tangan mewah, mobil super mahal, rumah bak istana; semua itu pada akhirnya akan musnah.

Dan jika kita menggantungkan diri pada semua itu, kita akan dirundung rasa takut dan kekhawatiran sepanjang waktu.

Nah, Hakikat Universal ini juga akan membantu kita untuk lebih bersabar dalam menerapkan gaya hidup sederhana. Ketika Anda membeli suatu barang yang Anda harapkan akan berguna tetapi kemudian rusak, pahamilah bahwa yang namanya barang memang punya hakikat untuk rusak.

Ini penting untuk dipahami, sebab manusia modern lebih banyak mengalami sumpek, kecewa, marah, stres, depresi daripada merasa bahagia, senang, atau gembira. Dengan paham Hakikat Universal ini, kita terselamatkan dari ketergantungan pada yang rapuh.

Termasuk kita sendiri; tubuh yang kita tunggangi ini juga teramat rapuh dan singkat. Kita bahkan tidak tahu dengan cara apa kita akan mati. Apa yang kita tahu hanyalah, kita akan tiada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun