Kini, seorang gadis bermata biru safir sedang duduk di sampingku dengan anggun. Aku takut akan kehilangannya, di saat aku terlanjur mencintainya.
"Antares, aku hampir tidak mau pulang sekarang ini."
Aku hanya menatapnya dengan penuh keheranan., meskipun aku sadar akan keinginanku sendiri yang juga ingin berlama-lama di taman ini.Â
Utamanya karena aku duduk bersama si Gadis Safir, seakan-akan aku bisa merasakan keirian seluruh pria di dunia kepadaku. Baru kali ini bokongku terasa menempel dengan kursi taman.
Dia memancarkan senyum monalisanya dan berujar, "Kamu tahu, aku pernah dilamar oleh seorang pria yang lebih muda dua tahun dari usiamu. Dia punya harta yang berkecukupan, karenanya ayahku menyetujui. Tapi aku merasa tidak nyaman dengannya.Â
Dia hidup dalam kemewahan, dan aku tidak suka itu. Aku tidak pernah sekalipun mengobrol lama dengannya. Dia selalu membicarakan sesuatu yang tidak kupahami, entah itu game, sepak bola, atau film-film laga."
"Jadi, kamu sudah dilamar?" tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. "Aku bersikukuh untuk menolaknya dan sempat merajuk kepada ayahku. Tapi kini, semua itu sudah berlalu. Aku membangun kehidupan baruku sendirian."
Dadaku terasa sedikit sesak saat ini. Aku tidak tahu mengapa, tapi udara-udara di sekitarku menjadi cukup perih ketika masuk ke hidungku. Aku rasa karena kedinginan; aku sudah melepaskan mantel hangatku untuk dia.Â
Dan pukul berapa sekarang? Tiba-tiba saja aku ingin segera pulang dan pergi tidur di halaman rumah. Aku bisa mendirikan tenda kecil di sana agar bisa melihat bintang-bintang di angkasa.Â
Mungkin seekor burung hantu akan menemaniku dari atas pohon birch. Dan tidak lupa dengan riuhan angin yang menampar pipi.