Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Hari Sial Itu Benar-Benar Ada?

10 Juni 2021   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2021   12:34 2028
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Cocoparisienne via Pixabay

Baru beberapa hari yang lalu ibu saya bilang bahwa tablet yang dulu disebut-sebut sebagai obat penghilang rasa sakit hanyalah permen rasa jeruk! Ah, saya telah diperdaya oleh ibu saya sendiri.

Demikian pula yang terjadi pada Efek Placebo. Ini bukan hanya masalah pasien yang membodohi diri mereka sendiri untuk mengalami rasa sakit yang lebih rendah, tapi juga tentang harapan yang bercokol di pikiran mereka turut berpengaruh terhadap persepsi mereka.

Ketika kita percaya akan adanya hari sial, maka disadari atau tidak, kita telah meletakkan harapan pada diri kita untuk mendukung itu sebagai kebenaran. Pada akhirnya, seremeh apa pun kenestapaan yang Anda alami, Anda akan mengatakan itu sebagai kesialan.

Jadi begitulah, kita punya kemampuan untuk membuat hari yang sial itu menjadi ada, jika kita percaya itu ada.

Penyederhanaan yang berlebihan

Seperti kata pepatah, "Nila setitik, rusak susu sebelangga." Ketika satu kemalangan mewarnai hari Anda yang cerah, Anda akan lebih senang mengatakan itu sebagai hari sial. 

Kita memang senang menyederhanakan suatu peristiwa dengan satu penilaian agar lebih mudah mengatakannya.

Misalnya, pada suatu hari dari pagi hingga siang, katakanlah selama 4 jam, telah terjadi hujan lebat. Keesokan harinya, saya bertanya kepada Anda, "Kemarin hujan atau cerah?" Besar kemungkinan, Anda akan lebih senang menjawab, "Hujan; kemarin hujan lebat."

Tidak sepenuhnya keliru, tapi Anda melupakan cuaca cerah yang terjadi selama 20 jam di hari itu.

Kita punya naluri untuk menghindari tanggung jawab

Satu alasan lagi yang mungkin akan terdengar menyakitkan adalah, kita punya naluri untuk menghindari tanggung jawab.

Orang-orang yang mengeluhkan hari sial sebenarnya adalah orang-orang yang ingin dikasihani atau berusaha menyangkal tanggung jawab. Ini seperti, "Hei, ini hari sialku! Jadi pedulilah padaku, sebab aku baru saja ditimpa nasib malang."

Ya ... justru karena keluhan itulah mereka benar-benar malang. Bukan karena nasib buruk, tapi karena cara mereka mengemis kepedulian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun