Hedonisme adalah lingkaran setan yang datang sebagai tamu tak dikenal.
Katakanlah bahwa kebahagiaan itu bisa diukur dengan angka. Jika sekarang kebahagiaan saya berada di angka 6, maka tidak peduli saya berhasil meningkatkannya menjadi angka 9, pada akhirnya tetaplah sama: saya akan kembali ke angka 6.
Dan ini ilusional. Dengan konsep seperti itu, kita tidak dapat menemukan apa yang dicari-cari oleh seluruh umat manusia, yakni kebahagiaan sejati. Lantas apakah memang demikian bahwa kebahagiaan sejati itu tidak ada?
Tentu ada. Itulah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini.
Setidaknya sekarang kita sampai pada kesimpulan awal bahwa hedonisme bukanlah cara untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Hedonisme hanya menjebak kita pada Hedonic Treadmill: suatu pengejaran yang tiada ujung dan hanya melahirkan ketidakpuasan yang mengerikan.
Dan Hedonic Treadmill inilah yang selanjutnya membawa kita pada apa yang saya sebut sebagai Ironi Hedonisme.
Ironi hedonisme
Secara gamblangnya, ironi hedonisme ini merupakan bentuk kemirisan saya terhadap salah kaprah hedonisme. Karena pada dasarnya, sesuatu yang terlanjur tersebar luas di masyarakat sering disalahpahami esensinya.
Ironi hedonisme pertama adalah kenestapaan dari orang-orang hedonis yang menyalahartikan konsep “kesenangan” dan konsep “kebahagiaan”. Saya tidak menyamakan arti dari kesenangan dan kebahagiaan untuk membedakan antara yang dangkal dan yang sejati.
Hedonisme menjunjung tinggi kesenangan. Dan apa yang disebut kesenangan adalah kegembiraan yang melekat pada selain diri sendiri. Artinya bersifat eksternal. Dan karena bersifat eksternal, maka kesenangan juga bersifat ketergantungan.
Sekarang saya ambil contoh sederhana. Barangkali Anda suka pergi ke klub malam. Karena kegembiraan itu tidak melekat pada diri Anda sendiri, maka pergi ke klub malam tergolong sebagai kesenangan.
Tapi bagi saya, pergi ke klub malam tidak mendatangkan kegembiraan. Justru sebaliknya, saya akan tersiksa oleh rasa bersalah, sebab paradigma saya menolak kegembiraan semacam itu.