Tapi, saya melakukannya. Ketika kata-kata itu tak terjangkau, saya bisa sengaja merasa rindu supaya bisa menikmati kerinduan itu. Apa pun yang saya tantang, justru ia semakin dekat pada alam bawah sadar saya.
Jadi, tanpa urutan tertentu, inilah beberapa pelajaran berharga yang saya petik selama aktif menulis.
Keingintahuan adalah modal
Dulu saya kira seorang penulis selalu merupakan ahli dalam apa yang ditulisnya. Ternyata tidak, mayoritas penulis juga sering diawali dari ketidaktahuan untuk kemudian berlanjut pada pencarian.
Pada awal pengalaman menulis, saya hampir tidak punya ide apa pun untuk ditulis karena pada dasarnya saya tidak tahu apa-apa. Tapi kemudian muncullah ide untuk banyak membaca sehingga inspirasi itu bisa dikejar. Dan hasilnya tidak begitu bagus.
Saya menjadi tukang plagiasi. Saya memaksakan kehendak untuk menulis dan jalan pintasnya adalah banyak mengutip. Suatu tekanan mendorong saya berbuat demikian, dan yang paling jelas adalah ego yang kelaparan. Saya haus akan pujian.
Selama proses pembelajaran yang panjang, saya pun bisa menyalakan api pencerahan setelah beberapa waktu tersesat dalam kegelapan. Ternyata modal awalnya amat sederhana: keingintahuan.
Dengan keingintahuan yang tinggi, segala sesuatu, seremeh apa pun, dapat menjadi inspirasi untuk ditulis. Setiap pengalaman kecil yang saya lewati dapat dipertanyakan untuk kemudian ditindaklanjuti dalam perenungan dan melahirkan tulisan yang segar.
Tentu kegiatan membaca tetap berlangsung, bahkan lebih insentif. Namun ada perbedaan mendasar antara membaca untuk menulis dan membaca untuk tahu.
Ketika saya membaca suatu artikel atau buku dengan tujuan untuk menulis, saya banyak mengutip dan melahirkan plagiasi. Saya menjadi orang lain dan tidak khas. Tidak peduli seberapa cerdiknya saya memainkan kata-kata agar tampak orisinal, tetap saja itu bukan saya.
Siapa orang yang bisa membohongi dirinya sendiri?
Tapi berbeda cerita jika saya membaca atas dasar keingintahuan. Itu adalah jembatan manis menuju pencerahan yang abstrak.Â