Aneska duduk di hamparan rumput halus dengan menggenggam setumpukan kertas berisi artikel-artikel yang dikumpulkannya dari internet.Â
Dalam beberapa minggu terakhir, dia suka mencetak artikel-artikel tentang alam semesta untuk dibacanya dalam waktu senggang seperti ini ketimbang membacanya di depan layar komputer yang membuat matanya mudah lelah dan sakit.Â
Setelah membenarkan posisi duduknya dengan bersandar pada batang pohon palem putri, dia mulai membaca.
Sebongkah Batu yang Malang
Alam semesta terdiri dari beberapa ratus miliar galaksi, dan tiap-tiap galaksi itu memiliki sekitar seratus miliar bintang di dalamnya.Â
Saya sedang berada dalam alam realitas dan berusaha menyimpulkan sejarah alam semesta. Tidak peduli seberapa keras saya mencoba, saya tidak mampu.Â
Hal-hal yang telah terjadi begitu luar biasa, dan luar biasa juga bagaimana saya bisa duduk di dalamnya mengenang akan kisah yang agung itu.
Apa yang kita ketahui tentang alam semesta? Apakah umat manusia telah mendekati 1% dari kebenaran? Saya rasa tidak.Â
Bahkan segala hal yang kita ketahui tentang alam semesta mungkin tidak sepenuhnya benar bagaikan lemparan koin di meja perjudian.
Gumpalan awan putih seperti wol bergelayut di atas saya sekarang ini. Mereka seperti balon-balon udara putih menghiasi langit berwarna abu-abu gelap yang terpantul di air danau.Â
Sekitar saya menjadi suram dan segelap di musim gugur. Meskipun tidak ada hujan turun, saya yakin tidak akan lama lagi.
Bagaimana pun juga, dunia kita ini adalah satu-satunya tempat di seluruh alam semesta yang kita benar-benar tahu bahwa kehidupan itu ada.Â
Baru beberapa tahun yang lalu, planet-planet di luar tata surya kita terbukti keberadaannya. Yang membuat ini butuh waktu begitu lama adalah teknologi yang ada sebelumnya tidak bisa mendeteksi planet di luar tata surya.Â
Dalam jangka waktu hanya beberapa tahun, beberapa ratus planet telah ditemukan, dan sekarang diperkirakan ada planet-planet yang mengorbit, setidaknya seperempat dari jumlah bintang-bintang seperti matahari di Bima Sakti.
Jika hari ini ditanya apakah mereka percaya dengan adanya kehidupan di planet-planet lain dalam alam semesta, sebagian besar astronom akan menjawab "iya".Â
Alam semesta ini sebegitu luasnya hingga apa yang terjadi di sini, di halaman mungil kita ini pastilah telah terjadi juga di banyak tempat lain. Atau begitulah yang akan mereka katakan.Â
Tetapi, jika alam semesta ini tidak penuh dengan kehidupan, apa hubungannya dengan produknya yang luar biasa?
Dalam kosmologi, terdapat sesuatu yang disebut prinsip kosmologis, yang mengatakan bahwa alam semesta menunjukkan karakteristik yang sama ke mana pun Anda pergi.Â
Dengan asumsi skala yang cukup besar, alam semesta bersifat isotropis, homogen, dan seragam.
Mengapa prinsip ini tidak berlaku juga untuk pertanyaan kita: bisakah kita berharap menemukan kehidupan yang tersebar di alam semesta seperti kita menemukan planet, bintang, dan galaksi?Â
Atau apakah hal yang kita sebut kehidupan hanya terjadi di sini?
Saya sendiri merasa yakin bahwa di luar planet kita ini terdapat kehidupan yang mungkin punya peradaban yang lebih tinggi ketimbang kita.Â
Jika Anda menganggap saya seorang pengkhayal yang gila, saya akan kembali bertanya dengan cara Anda bernalar.Â
Ketika Anda tidak percaya akan adanya kehidupan di luar planet kita, Anda sedang mengambil sesendok air lautan dan menyimpulkan bahwa tidak ada kehidupan dalam seluruh samudera.
Akan tetapi, apa yang ada di dalam bumi kita ini tidak kalah misteriusnya dengan apa yang ada di luar sana.Â
Kita hidup dalam teka-teki akbar dan bahkan kita sendiri juga bagian dari satu kepingan puzzle yang tak terpecahkan.Â
Tidak berlebihan jika saya mengatakan bahwa tubuh manusia merupakan suatu galaksi kecil tersendiri yang menyimpan rahasia agung, barangkali rahasia Ilahi.
Bagaimana mungkin seseorang hidup tanpa pernah mempertanyakan apa jawaban atas segala misteri tersebut? Bagaimana mungkin seseorang dapat duduk tenang dalam selimut teka-teki akbar alam raya?Â
Mereka yang tidak pernah mempertanyakan misteri eksistensinya sendiri tidak jauh berbeda dengan sebongkah batu yang ditakdirkan untuk diam.Â
Oh betapa malangnya sebongkah batu yang pada suatu malam menangis tersedu-sedu karena tidak mampu mempertanyakan eksistensinya sendiri.
Apa itu manusia? Apa itu hidup? Apa yang seharusnya dilakukan dengan hidup?Â
Setiap kali berusaha untuk menjawabnya, mata saya terasa perih, pikiran amat pedih. Pada puncaknya berpikir, otak saya mulai gemetar sedemikian kerasnya hingga memeras air yang jatuh lewat mata.Â
Bagaimanakah saya bisa hidup tenang dengan melupakan semua pertanyaan itu?
***
Aneska melepaskan pandangannya dari kertas itu. Dia menatap langit, merasakan jiwanya tercerabut dari tubuh dan terbang tinggi menembus batas horizon.Â
Dia melayang-layang di ruang hampa, terjebak dalam kegelapan yang amat suram, dan hanya satu yang dilihatnya: batu marmer biru raksasa yang kedinginan di tengah kesunyian yang gelap.Â
Ia kesepian dan berputar pada porosnya untuk menghibur diri. Ia adalah Bumi, planet dari raganya yang tertinggal di suatu pekarangan rumah.
Siapa yang akan menjadi pacar Bumi? Ia begitu malang, terpisah dari planet terdekatnya, Mars, sejauh 62 juta kilometer.Â
Bahkan jarak Bumi dengan bintang terdekatnya, Alpha Centaury, adalah sekitar 4,3 tahun cahaya. Empat puluh triliun kilometer!
Dan tiba-tiba Aneska merasakan kekuatan misterius. Dia bisa melihat raganya sendiri jauh di bawah sana sedang bersandar pada pohon palem putri yang teduh.Â
Dia melihat setiap sisi dunia, milyaran orang tengah sibuk bekerja hingga melewatkan banyak kebahagiaan. Berbagai jenis kendaraan berlalu-lalang, seakan-akan seluruh dunia saling terhubung oleh satu jalan.Â
Aneska melihat Bumi sebagai satu rumah; rumah dari berbagai macam eksistensi. Akan tetapi, apakah Bumi hanya satu-satunya rumah yang ada?
Aneska semakin kehilangan kendali diri, seolah-olah menyatu dengan segala lanskap di sekitarnya. Seketika terbetik ide bahwa dia itu jauh lebih dari sekadar ego yang malang.Â
Dia bukanlah sekadar dirinya. Dia juga adalah seluruh dataran yang dilihatnya dari atas, juga seluruh samudera, malah juga segala hal yang ada, dari seekor kutu terkecil hingga galaksi-galaksi di alam raya.Â
Segalanya adalah dia, pikirnya, dan dia adalah segalanya.
Dia sungguh-sungguh merasakan keabadian. Ketika dirinya tercerabut dari waktu, dia merasa menyatu dalam rajutan waktu itu, meskipun dalam wujud seekor kutu atau serigala.Â
Dia membayangkan dirinya yang terpecah-pecah menjadi atom, kemudian menyatu bersama atom-atom dalam belalai gajah. Keyakinan Democritus begitu lekat dalam pikirannya.
Akan tetapi, bagaimana dengan jiwanya sendiri? Apakah kehidupan setelah kematian itu benar-benar ada sebagai tempat tinggal jiwa-jiwa? Dan apakah semua itu abadi?
"Aneska ..."
Mata Aneska terbelalak tiba-tiba. Dia benar-benar tersadar bahwa tadi itu sekadar mimpi, meskipun mungkin juga itu benar-benar nyata.Â
Barangkali jiwanya telah kembali dari petualangan singkat di ruang hampa, menyatu lagi dengan raganya yang ditimpa kemalangan.
"Tidak biasanya kamu tertidur saat membaca," ujar ibunya yang membangunkan.
"Aku tidak terlelap," jawabnya, "aku yakin itu."
"Ah, Ibu jelas melihatmu sedang terpejam. Tapi jika mengantuk, lebih baik tidur di kamar."
"Tidak," tolak Aneska, "aku tidak tertidur. Jiwaku baru saja tercerabut sekejap melihat segala sesuatu dalam satu-kesatuan."
Ibunya memicingkan mata tanda keheranan. "Terkadang sebuah mimpi memang terasa sangat nyata, Aneska."
"Tapi aku bisa mengendalikan diriku tadi."
"Itu disebut lucid dream, suatu mimpi di mana kamu dapat mengendalikan dirimu sendiri di dalam mimpi, bahkan beberapa orang benar-benar tersadar bahwa mereka sedang bermimpi."
"Kalau begitu, kenapa kita tidak hidup selamanya dalam mimpi saja, Bu?" tanya Aneska dengan lugu.
"Ah, kamu itu ... bagaimana kalau mimpi buruk selamanya?" sangkal Ibu.
Butuh beberapa detik bagi Aneska untuk menjawab, "Tapi, Bu, apa yang menjamin bahwa kehidupan kita bukanlah mimpi?"
"Maksudmu?"
"Apa yang menjamin bahwa kehidupan yang kita anggap sebagai realitas ini bukanlah mimpi? Bagaimana kalau ternyata aku ini sedang tertidur di rumah Nenek?"
"Kamu semakin aneh saja akhir-akhir ini. Ibu kira kamu terlalu mengawang."
"Konon, Lao Tzu bermimpi bahwa dia adalah seekor kupu-kupu. Sekarang dia tidak tahu lagi, apakah dia seorang manusia yang bermimpi menjadi kupu-kupu, atau apakah dia seekor kupu-kupu yang bermimpi menjadi manusia."
"Betapa malangnya," hemat Ibu.
Aneska tahu bahwa ibunya tidak begitu tertarik terhadap apa yang dibicarakannya. Dia pun hanya melamun dan memandang kosong setumpukan kertas di tangannya.
Dalam hati dia berbisik, "Sekarang aku meragukan segala hal, maka aku bertanya dan berpikir. Suatu hari, aku harus mengetahui apa makna semua ini.
Aku tidak mau sekadar hidup untuk melayang-layang di ruang hampa dan berdarah oleh kutu-kutuku sendiri. Mungkin waktu bisa tercerabut dariku kapan saja, akan tetapi, apa itu waktu?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H