Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Terpesona oleh "Mantra Ajaib" dari Buku

16 Mei 2021   11:51 Diperbarui: 18 Mei 2021   00:08 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dua tahun terakhir, saya mengoleksi barang "ajaib" yang tidak diminati banyak orang, yaitu buku. Meskipun tidak sedikit orang yang telah bersaksi tentang kekuatan magis dari buku, faktanya buku tetap menjadi barang berharga yang tak laku di pasaran.

Film-film roman picisan jauh lebih laris meskipun buku dapat menawarkan daya tarik yang sama. Atau lagu-lagu yang mewadahi kegalauan remaja jauh lebih dilirik pasar ketimbang buku-buku yang menawarkan obat kegalauan.

Ada sesuatu yang dibenci tentang buku. Setidaknya bagi beberapa orang, sesuatu itu membuat buku dirasa sangat membosankan. Apa yang salah dengan buku?

Tergantung kepada siapa Anda bertanya, jawaban yang Anda dapatkan akan berbeda pula. Tapi jawaban umumnya: buku terlalu kering, hanya membuat orang-orang mengantuk. (Saya telah menulis artikel tentang mengapa sebagian dari kita benci membaca buku.)

Saya tahu bahwa mereka sedang membicarakan buku semacam ensiklopedia. Dan itulah masalahnya, beberapa orang punya paradigma yang buruk tentang buku sehingga demikian bencinya mereka terhadap buku.

Kisah besar saya sendiri terhadap buku dimulai pada masa awal SMA. Buku karya Viktor Frankl, Man's Search for Meaning, merupakan buku pertama yang saya baca hingga selesai.

Buku itu meninggalkan kesan yang luar biasa. Meskipun butuh waktu cukup lama untuk mencernanya, buku itu memberi saya akses menuju kebijaksanaan terbaik kehidupan, dan telah meregangkan pikiran saya melewati cakrawala yang bisa dibayangkan.

Semenjak itu saya mengerti bahwa buku adalah bentuk utama dari pendidikan mandiri dan alat utama untuk pemberdayaan pribadi.

Rasa kagum terhadap buku mulai terbangun. Saya mencari buku lainnya yang menarik di internet, dan bertemulah saya dengan buku karya Antoine de Saint-Exupry, Le Petit Prince (terj. Pangeran Cilik).

Buku tersebut merupakan novel filsafat yang terkesan ringan, namun diperlukan waktu lebih untuk memahami pesan ceritanya. Meskipun mengisahkan seorang anak kecil, tapi pesannya untuk direnungkan orang dewasa.

Lewat cerita seorang anak yang mengamati dunia dengan mata naif dan lugu, buku tersebut menyentuh beberapa nilai dan pengalaman manusia yang paling dasar, seperti kekuasaan, tanggung jawab, dan cinta.

Dan sekarang inilah rahasiaku. Sangat sederhana: hanya lewat hati kita dapat melihat dengan baik; apa yang penting tidak terlihat oleh mata.

Pemahaman saya terhadap buku semakin luas. Buku selalu menjadi cara untuk membuka imajinasi, menjelajahi dunia baru dan bertemu dengan karakter baru.

Buku adalah cara untuk berpetualang dari kenyamanan duduk di kursi. Buku adalah sarana untuk menjelajahi dunia tanpa harus bangkit dari tempat duduk kita.

Kekaguman saya terhadap buku semakin menuju puncak ketika saya membaca karangan Jostein Gaarder, Cecilia and The Angel (atau Dunia Cecilia dalam versi Indonesia).

Saya merasakan keindahan kata-kata yang menyedihkan dari dialog Cecilia dan Malaikat Ariel. Dengan slogan bukunya "Kisah indah dialog surga dan bumi", buku tersebut benar-benar jujur dengan marketing-nya

Ada keburukan di alam semesta. Ada cacat di alam duniawi. -- Jostein Gaarder, Cecilia and The Angel

Buku itu membawa saya pada kesadaran terdalam tentang keberadaan saya di sini; di dunia ini. Mengapa saya berada di sini? Apa yang seharusnya dilakukan dengan hidup?

"Aku tidak mau menjadi sebatas gelembung sabun yang ditiupkan Tuhan, kemudian pecah tertusuk duri mawar. Aku harus tahu tentang maksud keberadaanku di sini. Begitulah hidupku akan bermakna," tulis saya di buku diary selepas membaca buku itu.

Pada titik ini, kecintaan saya terhadap buku semakin dalam.

Bukan hanya sebagai portal untuk menikmati keindahan kata-kata, tapi juga memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang terus menggantung di pikiran saya.

Kisah berlanjut pada buku karya Jostein Gaarder lainnya, yaitu The Orange Girl (Gadis Jeruk). Ah, saya benar-benar menikmati setiap kata dari buku ini.

Dari awal hingga pertengahan, saya memahami hakikat cinta yang sejati. Dan pada puncaknya, saya dibuat merinding karena sang penulis menyajikan pertanyaan-pertanyaan yang "menyeramkan" terkait keberadaan kita di dalam kehidupan.

Aku bukan hanya kupu-kupu untuk kamu tangkap. -- Jostein Gaarder, The Orange Girl

Sekarang saya mulai bertanya-tanya: pengetahuan macam apa yang melatarbelakangi tulisan-tulisan Gaarder? Dan ya, saya menemukan filsafat.

Mungkin Anda bisa menebaknya, saya mulai membaca buku "Shopie's World" (terj. Dunia Shopie) yang masih merupakan karya Jostein Gaarder. Saya berkenalan dengan filsafat di awal pandemi dan tetap mempelajarinya hingga sekarang.

Apa yang ingin saya bagikan kepada Anda bukan sekadar kisah membosankan saya terhadap buku. Namun lebih dari itu, saya ingin Anda mengetahui betapa ajaibnya buku untuk mengubah hidup seseorang.

Tidaklah berlebihan jika saya mengatakan bahwa petualangan saya terhadap buku selama 2 tahun jauh lebih berharga ketimbang waktu 12 tahun yang saya habiskan di sekolah.

Bagi saya pribadi, buku bukan sekadar guru, tapi juga teman dalam berpikir. Dan saya lebih suka guru yang menemani saya berpikir ketimbang guru yang memaksakan sesuatu untuk masuk ke tenggorokan saya.

Buku bukan sekadar kumpulan kata dalam satu jilid, tapi di dalamnya juga terkandung makna kehidupan yang selama ini kita lewatkan.

Buku adalah kerang yang selama ini kita abaikan.

Jika Anda melihat kerang sedang bermuara di dasar laut, Anda mungkin akan mengabaikannya. Tapi jika Anda berani membuka mulut kerang itu, Anda menemukan bagian berharganya: mutiara.

Begitu pula buku. Dalam wujud fisiknya, buku bisa menjadi barang paling usang dan membosankan sepanjang sejarah. Tapi jika Anda berani untuk membuka dan membacanya, Anda bisa mendapatkan bagian berharganya: pengetahuan.

Pengetahuan adalah kekuatan. -- Francis Bacon

Dan di masa sekarang ini, kita duduk pada titik kritis di samping perkembangan teknologi yang begitu pesat. Segala bidang kehidupan mulai beralih ke arah virtual.

Ketidakpuasan, isolasi, kesepian sedang meningkat. Media sosial menggantikan hubungan antar manusia. Kita melihat semua orang seperti serupa: berlomba-lomba mencapai puncak status sosial. Bagaimana kita melestarikan keunikan manusia?

Mengingat kemerosotan adab dan terjadi konflik di mana-mana, pelestarian buku harus lebih dilestarikan ketimbang masa-masa sebelumnya.

Kita membutuhkan buku seperti kita membutuhkan makan. Buku adalah makanan bergizi untuk pikiran kita.

Buku adalah taman bermain yang mengasyikkan bagi pikiran. Siapa pun yang membencinya hanya belum menemukan taman bermain yang disukainya. Jadi jika Anda benci buku, Anda belum menemukan buku yang tepat.

Dunia sastra yang juga terkandung dalam buku adalah sesuatu yang menyatukan kita melintasi ruang dan waktu. Sastra bisa dibilang merupakan bentuk ekspresi manusia tertua yang kita ketahui.

Meskipun nenek moyang kita belum mempunyai bahasa dalam berkomunikasi, mereka telah menciptakan dunia sastra lewat lukisan-lukisan di dinding gua. Sastra jauh lebih tua dari yang kita duga.

Sastra mencatat dan melestarikan kisah manusia yang terus berkembang. Itu mengundang kita untuk merefleksikan kehidupan kita dan memancing kita untuk berpikir.

Penyair Portugis, Fernando Pessoa pernah berkata, "Sastra adalah cara yang paling menyenangkan untuk mengabaikan kehidupan." Dia memang mengatakan hal yang luar biasa.

Kita juga pasti pernah merasakan fase terberat dalam hidup kita dan ingin untuk menghilang sejenak dari kebisingan dunia. Dan seperti kata Pessoa, sastra adalah sesuatu yang kita cari dalam momen seperti itu.

Ketika saya membaca buku, dunia di sekitar saya rasanya tiba-tiba menghilang. Kemudian detik demi detik berlalu bersama kabut lembut kata-kata dan emosi.

Saya melakukannya. Ketika saya menyelami dunia sang penulis, saya menyadari satu hal, bahwa buku adalah kolam renang paling asyik untuk berenang.

Begitu pentingnya sastra, maka demikian pentingnya pula buku. Kita sedang membicarakan keajaiban buku, bukan?

Buku bukan sekadar portal menuju dunia sastra, tapi ia juga merupakan portal menuju kehidupan yang berbeda.

Bagi pembaca, buku adalah cara untuk mengubah kehidupannya. Bagi penulis, buku adalah cara untuk mengubah dunia.

Saya masih terkenang akan kehangatan air mata pertama dalam membaca buku. Ketika kata-kata itu menyentuh alam bawah sadar, otak mulai gemetar demikian kerasnya hingga memeras air yang mengalir lewat mata.

Pada beberapa momen, saya kehilangan jiwa ketika tenggelam dalam dunia sang penulis. Saya melepaskan keinginan untuk sadar, dan kemudian seakan terbangun dari tidur yang amat-panjang.

Seperti memancing ikan, ketika saya membiarkannya sejenak untuk berenang ke dasar, dia kembali menuju ke permukaan dengan lebih gemuk. Saya kembali menuju realitas dengan pengetahuan yang lebih gemuk.

Kemampuan melihat dunia dengan sepasang mata yang segar memicu saya untuk merenungkan kehidupan. Buku tidak hanya mengajari moral, tapi juga mendorong untuk mempraktikkan penilaian yang baik.

Buku dapat menambah nilai dan keindahan dalam hidup kita. Karenanya buku menjadi satu-satunya alasan mengapa saya merasa nyaman dalam kesendirian yang lama. Itu mengajari saya untuk jatuh cinta dengan diri sendiri.

Buku adalah sesuatu yang tidak hanya membantu kita untuk mengabaikan masalah hidup kita untuk sementara, tetapi dalam beberapa cara, buku juga membantu dan memprovokasi pikiran kita untuk lebih banyak berpikir dan menjadi lebih manusiawi.

Namun sayangnya, mantra ajaib dari buku masih terpusat di ruang kelas atau perpustakaan. Ini membuat keajaiban buku hanya dimiliki oleh segelintir orang yang punya hak istimewa.

Kita perlu menghadirkan buku di tempat-tempat baru dengan cara yang baru pula. Orang-orang harus tahu dan merasakan keajaiban sastra dari buku.

Jika tidak, dunia akan dipenuhi oleh orang-orang yang berdiri di atas nafsu mereka dan mengabaikan segala bentuk moralitas. Bagaimana Bumi dapat tetap berputar dengan orang-orang seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun