Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Kita Suka Bersikap "Caper"?

28 April 2021   10:43 Diperbarui: 29 April 2021   12:31 2255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang yang sedang selfie, caper di media sosial. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Kita adalah makhluk yang haus akan pengakuan dan perhatian. Kita mewujudkannya dengan berbagai cara, di mana upaya tersebut akrab dikenal dengan istilah "caper" (cari perhatian).

Kita pikir dunia harus berputar di sekitar kita dan meresponsnya dengan cara yang sesuai dengan keinginan kita. Dan jika seseorang bertindak tidak seperti yang kita harapkan, kita mulai berpikir bahwa kita telah melakukan kekeliruan.

Dalam hal ini, kita mengabaikan hak orang lain untuk merasakan dan melakukan apa yang mereka inginkan. Dan itu egois.

Ketika kita berjalan di dalam kerumunan, kita berharap orang-orang akan terbelah menjadi dua membentuk dinding di kanan-kiri bagaikan Nabi Musa yang membelah ombak.

Apa yang terjadi?

Setiap kali kita merasa butuh perhatian, sebenarnya kita sedang merasakan kurangnya harga diri atau penerimaan diri dari dalam.

Karenanya kita mencari orang lain untuk mengimbangi apa yang kurang, untuk membuat kita merasa bahwa kita begitu penting, bahwa kita sangat berharga.

Bagaimana lagi kita bisa mengelak? Pasti pernah suatu waktu, kita berharap guru-guru kita mengakui hasil kerja keras kita, bahwa bos kita melihat jerih payah yang kita lakukan, bahwa orang-orang memuji-muji kebaikan kita.

Kita mengenakan pakaian bergaya dan merias wajah serta menata rambut agar terlihat memesona sehingga orang-orang mulai pingsan karena terpukau.

Kita melakukan banyak hal (hanya) agar kita tidak berjalan sendirian dengan diliputi banyak perhatian.

Fenomena "caper" semakin merajalela sejak berdirinya "kerajaan media sosial". Hampir tidak ada lagi sesuatu yang bersifat pribadi.

Banyak dari detail kehidupan kita yang diunggah ke media sosial agar dunia bisa mengetahuinya, dan kita melakukannya dengan senang hati.

Kita mengunggah penampilan kita dibarengi kegiatan yang kita lakukan. Bahkan pada kebanyakan kasus, makanan yang kita konsumsi juga harus diketahui seluruh dunia bahwa betapa glamornya gaya hidup kita.

Semua merujuk pada satu motif: mencari perhatian.

Apakah "caper" itu wajar?

Tidak ada satu pun tindakan kita yang akan lolos dari penghakiman orang lain. Sekecil apa pun tindakan kita yang diketahui publik, akan selalu muncul penghakiman, entah positif atau negatif.

Semurni apa pun kebaikan yang Anda lakukan akan tetap bernilai negatif di mata para pembenci.

Istilah "caper" sendiri pun sebenarnya muncul dari orang-orang yang memberikan penghakiman, bukan dari pelakunya. Hampir bisa dipastikan bahwa sang pelaku tidak merasa sedang "caper" karena berusaha membela dirinya sendiri.

Dalam paradigma umum, "caper" dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif sehingga orang-orang akan membantah dirinya sedang "caper" sekalipun mereka melakukannya.

Anda mungkin terlalu banyak mengunggah hal-hal sepele ke media sosial ketimbang orang lain. Dan sejujurnya, Anda memang ingin disukai secara obsesif. Tetapi jika orang-orang mengetahui motif tersebut, Anda takut ditertawakan.

Apakah hal tersebut wajar?

Saya ingat ketika saya berjalan menyusuri lorong sekolah, sengaja menampilkan diri di tengah kerumunan, berharap orang-orang menyapa dan berkata, "Hei, kamu menjuarainya. Selamat!"

Saya melakukan kontak mata dengan setiap orang untuk membaca apa yang mereka katakan dalam hati dan agar mata mereka terpikat oleh apa yang mereka lihat. 

Saya ingin mereka mengakui saya, tersenyum kepada saya, terpincut oleh saya, dan menyampaikan semacam... kebanggaan terhadap saya.

Sekali lagi, apakah ini wajar?

Ya, ini lumrah. Saya mengatakannya.

Pengalaman ini terjadi kepada semua orang dengan jenis yang berbeda atau serupa. Hanya saja, mengapa kita melakukannya?

Mengapa kita bersikap "caper"?

Satu klaim yang harus Anda garisbawahi adalah, bahwa motif seseorang bersikap "caper" hampir tidak dapat dipastikan. Ia bersifat gaib. Tidak seorang pun mengetahuinya, bahkan sang pelaku pun mungkin juga tidak.

Telah saya singgung sebelumnya bahwa istilah "caper" muncul dari mereka yang menghakimi, bukan dari pelakunya. Bisa jadi sang pelaku tidak bermaksud apa pun, namun penghakiman tetap mengatakan dia sedang "caper".

Tapi, ada beberapa penyebab yang mungkin. (Dan saya mengalaminya).

#Kesepian

Dengan satu atau lain cara, ini adalah seruan dari hati kita yang merasa kesepian dan tidak lengkap. Ketika kita merasa terasingkan, kita akan berupaya mencari perhatian orang lain, bahkan dengan cara-cara yang memalukan.

#Jebakan keinginan

Alam semesta seakan-akan mendorong kita untuk berfokus pada apa yang tidak kita miliki dan mengabaikan apa yang kita miliki.

Keinginan muncul karena kita tidak memilikinya. Keinginan untuk dicintai, dihargai, atau dipahami menandakan bahwa kita, secara tidak sadar, tidak memiliki validasi atas hal tersebut sehingga kita ingin orang-orang mengisi lubang itu.

Kenyataannya, kita selalu menemukan apa yang kita cari. Hanya mencari kekurangan dalam diri kita justru akan menunjukkan kepada kita lebih banyak kekurangan.

Kita menjalani kehidupan dengan terpental antara penolakan dan pujian, ya dan tidak, atau tidak ada sama sekali (yang berarti kita tidak mendapatkan perhatian sama sekali).

Perasaan tersebut mengikuti perjalanan yang ada, muncul dari kegembiraan menjadi depresi, hingga pada akhirnya tenggelam dalam sikap apatis atau putus asa.

#Bagian dari kebutuhan

Ada satu teori hierarki kebutuhan yang terkenal dan menarik dari Abraham Maslow. Meskipun teori ini cukup banyak dikritik karena ketidakjelasan standar yang diambil, tapi saya rasa teori ini akan sangat cocok untuk menjawab masalah kita kali ini.

Pada tahun 1954, Maslow memperkenalkan sebuah konsep hierarki kebutuhan dalam bukunya yang berjudul Motivation and Personality. Hierarki ini menunjukkan bahwa orang termotivasi untuk memenuhi kebutuhan dasar sebelum beralih menuju kebutuhan lain yang lebih besar.

Perhatikan piramida kebutuhan berikut.

Piramida kebutuhan Maslow | Sumber: brandadventureindonesia.com
Piramida kebutuhan Maslow | Sumber: brandadventureindonesia.com
Pada tingkatan pertama ada kebutuhan fisiologis. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan primer kita seperti makan, minum, bernapas, berpakaian, tidur, tempat tinggal, dan semacamnya.

Jika seseorang telah memenuhi kebutuhan fisiologisnya, maka dia akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan.

Kebutuhan ini mencakup rasa aman dari segi fisik maupun mental. Contohnya keamanan keuangan, kesehatan, keselamatan dari kecelakaan dan cedera, pekerjaan, bahkan rasa aman dari stres dan rasa takut.

Setelah kebutuhan akan keamanan terpenuhi, kita mulai naik ke tingkat kebutuhan berikutnya, yaitu kebutuhan sosial. Kebutuhan ini mencakup kebutuhan kita akan rasa memiliki dan kasih sayang.

Semua kegiatan bersosialisasi merupakan jerih payah kita untuk memenuhi kebutuhan sosial.

Nah, jika kebutuhan sosial telah terpenuhi, sampailah kita ke tingkat kebutuhan yang dimaksud, yaitu kebutuhan akan penghargaan.

Besar kemungkinan, orang-orang yang bersikap "caper" sedang berusaha memenuhi kebutuhan akan penghargaan.

Ketika kebutuhan fisiologis sudah terjamin, kemudian Anda juga merasa aman tinggal dalam kehidupan ini, bahkan Anda punya komunitas yang senantiasa menampung Anda, (hampir) bisa dipastikan, Anda akan berusaha untuk mendapatkan pengakuan.

Kebutuhan ini merupakan bentuk dari kebutuhan ego, keinginan untuk berprestasi dan memiliki prestise. Kebutuhan ini mencakup keinginan untuk dihormati, ketenaran, pengakuan, perhatian, reputasi, dan kepemilikan status.

Pada titik tertentu, setiap orang akan sampai pada kebutuhan ini. Disadari atau pun tidak, kita melakukannya.

Tetapi ada satu tingkat kebutuhan lagi yang menjadi puncak dari piramida kebutuhan ala Maslow, yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri.

Kebutuhan ini berbeda dari yang sebelumnya karena kita merasa tidak perlu lagi dihargai oleh orang lain. Pada tahap ini, kita hanya akan berusaha untuk mengembangkan diri sendiri, memaksimalkan segala potensi yang kita miliki.

Bisa dibilang, apa yang kita lakukan adalah untuk membuktikan pada diri sendiri.

Jika saya terdengar omong kosong, cobalah perhatikan bagaimana orang-orang kaya sedunia berpenampilan. Bandingkan dengan orang-orang kaya yang sering tampil di layar kaca lokal.

Berbeda? Jelas, karena orang-orang kaya yang sesungguhnya sudah tidak butuh bersikap "caper". Semua orang mengetahui kekayaannya. Dan mengakuinya.

Mark Zuckerberg sedang nongkrong bersama sang istri dengan menggunakan baju kaos kesayangannya | Sumber: therichest.com
Mark Zuckerberg sedang nongkrong bersama sang istri dengan menggunakan baju kaos kesayangannya | Sumber: therichest.com

Bagaimana seharusnya kita bereaksi?

Ketika Anda merasa sedang bersikap "caper", cobalah ajukan pertanyaan yang menggelisahkan kepada diri sendiri.

Mengapa saya melakukannya? Apakah karena kesepian? Apakah karena saya merasa dibenci? Apa dampaknya kepada saya di waktu nanti? Apakah itu setimbal?

Dengan kata lain, Anda dapat mengontrol pikiran Anda untuk berhenti bersikap "caper". Mengontrol pikiran berarti mencoba untuk mengosongkan pikiran dari paradigma Anda sendiri, kemudian berpikir jernih tentang sikap Anda sendiri.

Dan singkirkan kebohongan yang saat ini Anda percayai.

Sekarang saya mengerti bahwa jika saya ingin diperhatikan, apa yang perlu saya lakukan pertama kali adalah bertanya, apakah saya melakukannya untuk ego saya, atau untuk sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.

Ini adalah perbedaan penting dan dapat ditangani dengan kueri sederhana. Ketika Anda melakukan sesuatu dengan maksud ingin diperhatikan, tanyakan pada diri sendiri: apakah saya ingin dikenal seperti ini?

Karena segala tindakan dan kebiasaan kita akan menentukan identitas kita di mata orang lain.

Tetapi jika Anda bukan sang pelaku, saya sarankan Anda untuk tetap diam.

Ketika ada seseorang yang memamerkan kekayaannya kepada Anda, apa manfaatnya Anda menanggapi hal tersebut? Apa manfaatnya Anda menggosipkan orang tersebut?

Sayangnya, inilah yang dilakukan netizen kita. Kebanyakan orang di media sosial sering mencemooh seseorang yang memamerkan kekayaannya, padahal hal tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan mereka.

Bahkan konten tersebut tidak berpengaruh apa-apa terhadap kehidupan mereka.

Satu catatan saya: jika sesuatu berkaitan dengan masalah pribadi, lebih baik untuk tidak menanggapi. Namun, jika sesuatu itu berkaitan dengan masalah publik, kita perlu untuk menanggapi.

Karena itu mencakup sumbangsih kita terhadap apa yang akan terjadi. Kita harus turut berperan dalam setiap keputusan kebijakan publik, karena itulah esensi dari demokrasi.

Jadi, apakah "caper" itu buruk?

Bersikap "caper" memang lumrah terjadi. Bahkan bagi beberapa orang, ini adalah cara untuk bertahan hidup.

Tapi, ini bisa menjadi masalah.

Kita secara praktis menyerahkan kekuatan kita sendiri dan memilih untuk disandera oleh tindakan dan pendapat orang lain. Pada akhirnya, hal tersebut menimbulkan kekecewaan dan rasa sakit emosional.

Kita dapat menjadi ketergantungan pada orang lain yang memperhatikan kita.

Dan bersikap "caper" dapat menutupi kedok orang lain dalam memedulikan kita. Kita menjadi sulit untuk membedakan mana orang-orang yang benar-benar peduli dan mana orang-orang yang hanya bertopeng.

Berusaha untuk diperhatikan bisa menjadi beban. Ingat, kebanyakan kasus bunuh diri dan/atau mengonsumsi obat-obatan dilakukan oleh orang-orang yang punya ketenaran.

Kita dapat hidup damai dengan orang lain dan menjadi otentik serta jujur. Kita lebih mungkin dihargai karena menjadi diri kita yang unik ketimbang mencoba hal-hal yang akan menarik perhatian mereka.

Tapi sekali lagi, baik atau buruk, tergantung kepada siapa yang melakukan dan siapa yang menanggapi.

Inti dari tulisan ini adalah untuk mengingatkan Anda bahwa tidak ada yang salah dengan berbagi perasaan kita. Namun, ini tidak berarti kita harus menunjukkan segalanya kepada mereka.

Apa yang ingin saya tekankan adalah pentingnya untuk menunjukkan tentang siapa Anda sebenarnya.

Karena itulah yang benar-benar berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun