Saya ingin mereka mengakui saya, tersenyum kepada saya, terpincut oleh saya, dan menyampaikan semacam... kebanggaan terhadap saya.
Sekali lagi, apakah ini wajar?
Ya, ini lumrah. Saya mengatakannya.
Pengalaman ini terjadi kepada semua orang dengan jenis yang berbeda atau serupa. Hanya saja, mengapa kita melakukannya?
Mengapa kita bersikap "caper"?
Satu klaim yang harus Anda garisbawahi adalah, bahwa motif seseorang bersikap "caper" hampir tidak dapat dipastikan. Ia bersifat gaib. Tidak seorang pun mengetahuinya, bahkan sang pelaku pun mungkin juga tidak.
Telah saya singgung sebelumnya bahwa istilah "caper" muncul dari mereka yang menghakimi, bukan dari pelakunya. Bisa jadi sang pelaku tidak bermaksud apa pun, namun penghakiman tetap mengatakan dia sedang "caper".
Tapi, ada beberapa penyebab yang mungkin. (Dan saya mengalaminya).
#Kesepian
Dengan satu atau lain cara, ini adalah seruan dari hati kita yang merasa kesepian dan tidak lengkap. Ketika kita merasa terasingkan, kita akan berupaya mencari perhatian orang lain, bahkan dengan cara-cara yang memalukan.
#Jebakan keinginan
Alam semesta seakan-akan mendorong kita untuk berfokus pada apa yang tidak kita miliki dan mengabaikan apa yang kita miliki.
Keinginan muncul karena kita tidak memilikinya. Keinginan untuk dicintai, dihargai, atau dipahami menandakan bahwa kita, secara tidak sadar, tidak memiliki validasi atas hal tersebut sehingga kita ingin orang-orang mengisi lubang itu.
Kenyataannya, kita selalu menemukan apa yang kita cari. Hanya mencari kekurangan dalam diri kita justru akan menunjukkan kepada kita lebih banyak kekurangan.