Sekarang saya menyadari paradoks kegagalan: semakin kita takut terhadap kegagalan, semakin besar kemungkinan kita untuk gagal.
Ketakutan akan kegagalan malah membatasi dan menghambat kita. Kita hanya bisa benar-benar sukses kalau kita bersedia untuk gagal. Jika tidak, berarti kita pun tidak bersedia untuk sukses.
Dan lagi pun, kesuksesan dapat diartikan dengan sederhana.
Kesuksesan adalah perkembangan diri secara konstan menuju diri yang lebih baik. Setidaknya itu yang Ibu ajarkan kepada saya. Nilai hidup ini merupakan proses yang terus berlangsung; seumur hidup tidak akan pernah selesai.
Apa yang dapat saya katakan lagi, hadiah terbaik Ibu hanya berisi tiga kata: gagallah dengan cukup.
Orang-orang perlu tahu bahwa pertanyaannya bukanlah apa yang ingin kita raih, melainkan apa yang ingin kita perjuangkan, apa yang membuat kita rela menderita.
Karena hidup memang berjalan demikian.
Tidak dapat terelakkan lagi bahwa kegagalan adalah pintu menuju pembelajaran. Kita selalu bermula dari tidak tahu apa-apa. Dan untuk menjadi tahu, kita perlu belajar.
Karenanya ada yang kurang dari pepatah, “Guru terbaik adalah pengalaman.” Lebih sempurnanya, “Guru terbaik adalah pengalaman saat mengalami kegagalan.”
Tidak ada kesuksesan tanpa pertama-tama mengalami kegagalan. Sesuatu disebut sukses, karena kita pernah mengalami kegagalan. Ingat, ia tumbuh dari bawah menuju puncak.
Baru belakangan ini saya mengerti bahwa Ibu telah mengajak saya untuk terperosok menuju dasar dan menemukan harta karun dalam kegelapan, tempat di mana hanya segelintir orang yang rela untuk jatuh.