Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

7 Hal Penting yang Seharusnya Diajarkan di Sekolah

21 April 2021   10:54 Diperbarui: 21 April 2021   18:16 3292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur saja, sistem pendidikan kita sedang tidak baik. Entah kurikulumnya, atau pengajarnya, atau pelajarnya; kita melihat kekacauan masih bersemayam. Dan kita bisa membicarakan ini selama beberapa bulan.

Tapi, fokus saya di sini adalah tentang pelajaran yang disampaikan kepada pelajar. Maksud saya, hampir semua sejarah besar yang saya pelajari dari SMP sampai SMA dapat saya temukan di Wikipedia dan baru saya pahami dalam minggu-minggu belakangan ini.

Dan hampir semua penjelasan pengajar (yang saya rasakan) hanya sebatas membacakan ulang dari apa yang tertulis di buku rujukan. Karenanya saya lebih senang mencatat apa-apa yang murni dari pengajar itu sendiri dan tidak ada di dalam buku rujukan.

Saya adalah seorang pelajar SMA tingkat akhir. Apa yang saya rasakan selama 12 tahun bersekolah tidak ada bedanya seperti yang dirasakan orang tua saya dulu ketika bersekolah. (Meskipun mereka tidak sampai tamat SMP).

Kita masih mendorong pelajar melalui kurikulum yang sama dengan yang dilakukan kakek-nenek kita. Namanya memang berubah, isinya juga berubah. Tapi pada praktiknya, hampir tidak ada perbedaan.

Pada titik ini, memang cukup tabu untuk mengatakan bahwa hal terpenting dalam kehidupan tidak kita pelajari di sekolah. Bahkan saya sadar bahwa hal terpenting yang saya pelajari harus saya pahami sendiri sebagai orang dewasa.

Saya tidak mengatakan bahwa hal-hal yang saya sebutkan nanti harus menjadi mata pelajaran khusus.

Kita bisa mempelajarinya dalam perbincangan bersama teman, atau sebagai rehat dari mata pelajaran formal, atau bahan perbincangan serius dalam seminar internal, atau bahkan diselipkan dalam mata pelajaran terkait.

Ketika saya sadar bahwa hal-hal yang dimaksud tidak saya dapatkan di sekolah, terkadang saya merasa kesal karena menghabiskan banyak waktu untuk sesuatu yang tidak bisa saya pahami. Tapi serius, di mana kelas-kelas ini?

Karena saya sendiri masih seorang pelajar, panggil saya "brengsek" karena tulisan ini lebih merupakan bentuk curahan hati terkait pengalaman kehidupan sekolah saya sendiri.

Pelajaran apa yang seharusnya kita dapatkan di sekolah menengah, tetapi tidak? Tanpa maksud untuk menghakimi, inilah 7 hal penting yang seharusnya diajarkan di sekolah (versi saya).

1. Manajemen keuangan pribadi

Budaya konsumtif menjadi masalah serius semenjak berkembangnya teknologi di dalam dimensi ekonomi. Tidak sedikit orang yang membeli banyak barang tanpa diiringi kemampuan daya beli, pensiun tanpa tabungan, jatuh sakit dan tidak mampu membayar biaya perawatan; semua itu mengacaukan kita secara besar-besaran.

Mayoritas dari kita hanya memahami bahwa uang untuk dicari, didapatkan, dan dihabiskan. Mengapa kita tidak (pernah) diajarkan bagaimana uang bekerja? Mengapa beberapa orang berpenghasilan lebih dari yang lain? Bagaimana cara berinvestasi? Bagaimana cara membayar pajak? Bagaimana pajak bekerja?

Bahkan jika semua itu diajarkan dalam pelajaran ekonomi, saya tidak yakin tentang seberapa banyak pengetahuan itu dapat mereka terapkan secara langsung dalam kehidupan sehari-hari. Dan bagaimana dengan jurusan yang tidak terdapat pelajaran ekonomi?

Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang sudah 2 kali ikut olimpiade ekonomi (dan memenangkannya), buku-buku rujukan hanya mengajarkan definisi dari investasi dan bukannya cara berinvestasi, cara menghitung pajak dan bukannya cara membayar pajak (padahal sekarang sudah banyak platform gratis yang menawarkan layanan penghitungan pajak), serta definisi uang dan bukannya cara berbisnis.

Mungkin hal-hal semacam itu banyak dipelajari di perguruan tinggi, tapi krisis keuangan telah dimulai jauh sebelum itu. Dan kehidupan terus berjalan.

2. Hubungan

Banyak hal yang membuat hidup bahagia, tetapi hanya sedikit hal yang memiliki pengaruh dan dampak sebesar hubungan kita dengan orang lain. Kita perlu belajar bagaimana untuk tidak tersandung oleh rayuan dan bagaimana melatih kesadaran tentang emosi kita sendiri.

Saya tidak hanya berbicara tentang pasangan, tapi juga tentang bagaimana menjadi teman yang baik, bagaimana memperlakukan keluarga dengan hormat, bagaimana menangani konflik dengan rekan kerja, bagaimana mengatasi kekesalan pada guru tertentu.

Namun, generasi kita sekarang ini tumbuh dengan Facebook, Instagram, Tinder, dan Netflix. Hampir semua platform yang ada menunjukkan pada kita tentang kencan yang sempurna, sesuatu yang tidak akan pernah terlupakan.

Drama Korea mempertontonkan hubungan yang romantis. Sinetron lokal memperlihatkan hubungan yang dramatis. Remaja kita menjadi tergoda untuk memiliki kisah yang sama dengan apa yang disaksikannya, tetapi kebanyakan berujung tragis. Dan karena itulah, mereka mendapatkan masalah.

Kita tidak ragu lagi tentang kacaunya kisah percintaan para remaja di bangku sekolah (meskipun beberapa di antaranya berakhir indah, mungkin).

Ketika guru menjelaskan bagaimana Napoleon menaklukkan sebagian besar Eropa, beberapa muridnya malah memikirkan seseorang yang mereka cintai dan tentang surat misterius di kolong bangku.

Dan apa yang mereka dapatkan terlalu dangkal. Mungkin karena anggapan bahwa mempelajari sesuatu semacam ini adalah tabu.

Mereka hanya mendapatkan perintah untuk tidak berpacaran, tapi mereka tidak diberikan penjelasan yang cukup tentang mengapa itu buruk bagi mereka, apa akibat jangka panjang darinya, dan bagaimana cara menjauhi hal semacam itu.

Mereka tidak diajarkan tentang cara mencintai yang benar, bagaimana menghargai perasaan orang lain, dan bahkan tentang apa itu cinta. Saya merasa miris mendengar perbincangan remaja kita yang dipenuhi kisah putus cinta. Ngeri...

3. Logika dan penalaran

Manusia memiliki kemampuan menyusun dan menelaah kebenaran fakta untuk mengubah dan menegaskan keyakinan yang dianutnya. Pada umumnya, untuk mempertimbangkan sesuatu, kita melakukannya dengan nalar yang prosesnya disebut pemikiran atau penalaran.

Sementara hampir semua manusia sehat memiliki kemampuan berpikir, sebagian kecil di antara kita tidak dapat melakukannya dengan baik.

Perhatikan contoh argumen berikut.

Kebanyakan penjahat itu miskin. Kebanyakan orang miskin menerima bantuan sosial. Oleh karena itu, sebagian besar bantuan sosial jatuh ke tangan penjahat.

Tentu saja, argumennya keliru. Kita dapat mencabut perhatian kita lebih awal pada argumen tersebut karena premis pertama yang disajikan sudah menunjukkan kekeliruan.

Siapa yang bisa menjamin bahwa kebanyakan penjahat itu miskin? Bukankah kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran justru membuka peluang untuk melakukan kejahatan? Ya, kita banyak melihatnya di sini. Korupsi, penyelewengan kebijakan, bla bla bla...

Pernyataan tadi memang masih dalam tingkatan mudah; cukup sepele. Namun, kita melihatnya diberitakan sebagai fakta, diperdebatkan oleh para pemimpin seolah-olah itu adalah argumen yang valid.

Karenanya, kemampuan kita untuk memikirkannya memiliki dampak besar pada keyakinan kita dan bagaimana kita menjalani hidup.

Argumen yang samar-samar sering merayap pada dimensi fundamental kehidupan. Kita cukup sering melihatnya dalam kampanye politik.

X pandai menghasilkan uang; pemerintah perlu menghasilkan uang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; maka, X akan pandai dalam menjalankan pemerintahan.

(Ya, sekarang kita tahu mengapa orang-orang kaya cenderung punya kekuatan untuk masuk ke ranah politik.)

Kita melakukan kesalahan dalam berlogika sepanjang waktu. Dan sering kali dengan cara halus yang tidak kita sadari. Hal tersebut dapat berpengaruh pada keputusan yang kita ambil dan terkadang berkaitan dengan keyakinan penting yang memiliki konsekuensi hidup atau mati.

Kesalahan berlogika ini menyebabkan kita membuat keputusan yang bodoh, baik tentang kehidupan sosial kita, hubungan kita, karier kita; hampir segalanya.

Bahkan yang terburuknya, cacat logika bisa menjerumuskan seseorang ke dalam radikalisme dan terorisme.

Masalahnya, kita jarang diajari bagaimana sebenarnya metode berpikir atau memecahkan masalah di sekolah. Sebaliknya, kita diajari cara menyalin dan menghafal sesuatu (dan kemudian segera melupakannya).

Ini sangat tidak cocok untuk kita menghadapi kehidupan yang kompleks seperti sekarang. Di era informasi yang begitu mudah, kita justru malah terjebak dalam disinformasi. Kita perlu menyesuaikan pembelajaran dan mulai pelan-pelan melepaskan metode kuno.

4. Skeptisisme

Hidup kita dipenuhi dengan ketidakpastian. Barangkali satu-satunya kepastian adalah, bahwa hidup ini penuh ketidakpastian. Bahkan, apa yang kita anggap pasti sering kali hanyalah bukti bahwa kita berhenti mencari.

Skeptisisme akan membantu kita untuk tidak terjebak dalam dogmatisme. Skeptisisme itu sendiri mengacu pada sikap filosofis dan sikap keraguan terhadap kebenaran dan keyakinan yang dianut secara umum. Ini adalah apa yang mungkin Anda sebut sebagai penangguhan keyakinan.

Ketika saya percaya bahwa A itu benar, jika saya bersikap skeptis, bukan berarti saya jadi percaya bahwa A itu salah. Justru, saya akan memeriksa alternatif lain: apakah B juga sama benarnya; apakah C malah lebih benar; mengapa non-A adalah keliru; dan seterusnya.

Kita tahu bahwa mimpi pendidikan kita adalah melahirkan orang-orang yang kritis. Tapi, bagaimana jiwa kritis bisa terbentuk kalau bersikap skeptis saja masih dianggap tabu? Anda tidak bisa menjadi kritis tanpa pertama-tama menjadi skeptis.

Sayangnya, tidak semua pelajar kita mendapatkan kebebasan untuk bertanya. Beberapa pengajar merasa begitu takut untuk "diserang" pertanyaan oleh muridnya sendiri. "Apa jadinya dunia jika saya menjawab 'tidak tahu'?"

Karenanya dalam beberapa kasus, para pelajar justru dibungkam untuk mengangguk dengan berbagai dalih yang kiranya masuk akal. Dan ketika mereka bertanya, mereka dibungkam lagi dengan label "bodoh".

Skeptisisme memupuk kemampuan untuk membuka diri terhadap berbagai alternatif, menahan penilaian, mempertanyakan dan menantang diri sendiri serta menjadikan diri kita orang yang lebih baik.

Jadi, skeptisisme bisa jadi langkah pertama dalam membangun pendidikan yang sehat.

5. Kesadaran diri

Kesadaran diri merupakan kemampuan orang untuk menjalani hidup dari saat ke saat dengan sepenuh hati dan pikirannya. Dengan kata lain, kesadaran diri adalah kemampuan untuk berpikir tentang bagaimana Anda berpikir. Ini adalah kemampuan untuk memiliki perasaan tentang perasaan Anda. Untuk memiliki opini tentang opini Anda.

Saya tahu apa yang Anda tanyakan sekarang, "Bagaimana Anda bisa mengajarkan kesadaran diri?" Karena ini adalah sebuah keterampilan, kita bisa mempelajarinya dalam bentuk apa pun.

Misalnya, jika saya berpikir sesuatu seperti, "Saya benci pada perempuan yang berambut pendek. Perempuan yang berambut pendek adalah seorang psikopat."

Itu adalah contoh klasik dari kefanatikan, penyaluran kebencian melalui stereotip yang dangkal. Dan jika saya tidak memiliki kesadaran diri, saya akan menganggap prasangka tersebut sebagai benar.

Tetapi jika saya memiliki kesadaran diri, saya akan peka terhadap pemikiran tersebut dan mempertanyakannya. Mengapa saya membenci perempuan berambut pendek? Apa mungkin karena mantan pacar saya berambut pendek?

Atau seorang pembunuh yang saya temui di berita punya rambut pendek? Apakah mungkin saya mengalihkan seluruh kehidupan saya hanya untuk membenci perempuan berambut pendek?

Dalam segala hal yang kita lakukan dalam hidup ini, hanya ada satu alat yang tetap bersama kita dari awal hingga akhir, yaitu pikiran kita. Oleh karena itu, kita perlu menginvestasikan waktu dan tenaga untuk memahami pikiran kita sebaik mungkin.

Pemikiran yang keliru bisa menjadi akar dari segala macam bentuk kejahatan, karena pikiran itu sendiri merupakan "program" yang menggerakkan kita.

Jadi apa pun itu, kita semua harus mencari tahu kecenderungan kita sendiri dan kemudian belajar bagaimana memantaunya untuk bisa beradaptasi dengannya.

6. Nilai dari kegagalan

Kita tidak bisa mengelak lagi bahwa ada beberapa pengajar yang memarahi muridnya ketika mereka mendapatkan nilai rendah dalam ujian.

Secara implisit, itu mendorong murid mereka untuk menjadi anti-kegagalan, fanatik dengan kesuksesan sampai-sampai menutupi apa yang sebenarnya menjadi bakat mereka.

Seorang teman pernah menjalani hukuman karena mendapatkan nilai kecil dalam ujian Matematika. Otomatis dia berusaha untuk memperbaiki nilainya di ujian berikutnya. Tapi hasilnya tetap sama. Pada akhirnya, dia mengambil jalan mudah: menyontek.

Dan ironisnya, dia menjadi terbiasa untuk menyontek pada pelajaran-pelajaran lain. Padahal saya tahu bahwa dia sangat berbakat dalam sepak bola. Tapi karena fanatiknya terhadap nilai tinggi, dia mulai mengubur bakatnya sendiri.

Pelajar kita perlu tahu bahwa pertanyaannya bukanlah apa yang ingin kita raih, melainkan apa yang ingin kita perjuangkan, apa yang membuat kita rela menderita.

Karena hidup memang berjalan demikian.

Jika pengajar ingin memberikan hadiah kepada murid mereka, hal terbaik yang saya sarankan adalah mengajari muridnya untuk menyukai tantangan, tergoda oleh kesalahan, menikmati proses, dan kemudian belajar darinya.

Dengan begitu, murid mereka tidak harus menjadi haus akan pujian. Mereka akan memiliki cara seumur hidup untuk terus berkembang dengan kepercayaan diri yang membara.

7. Kesehatan mental

Sungguh mengesankan ketika beberapa pengajar memberikan PR kepada muridnya setumpuk lemari, tetapi tidak pernah sama sekali mengajarkan cara mengendalikan stres atas semua PR itu, atau trik psikologis tentang bersahabat dengan stres, misalnya.

Berapa banyak pelajar kita yang tidak bahagia dalam menjalani sekolahnya? Ini bukan lagi sesuatu yang bisa kita tutup-tutupi. Metode pengajaran klasik (yang kita gunakan) rentan memberikan tekanan pada pelajar, tapi mereka hanya bisa meratapinya.

Dan kemudian mereka lari menuju dunia maya, sebuah dunia penuh sihir yang bisa membuat mereka berpura-pura menjadi orang lain. Mereka hanya tahu perasaan sedih, bahagia, dan stres tanpa benar-benar tahu bagaimana semua itu terjadi dan bagaimana menanggapinya.

Ya, ini adalah alarm besar untuk kita.

Berita-berita mengabarkan kasus bunuh diri dari mulai siswa SD sampai SMA. Jadi, tidak ada lagi kesempatan untuk kita menutup mata dan telinga bahwa kesehatan mental perlu diajarkan sejak dini.

Saya tahu bahwa guru BK mengemban tugas ini. Tapi tidaklah cukup dengan berkata, "Jangan stres! Jangan sedih! Berbahagialah! Bekerja keras untuk menggapai impian!"

Semua orang mengatakan itu, dan karenanya sangat mudah. Bahkan saya mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari tulisan-tulisan di belakang truk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun