Beberapa minggu yang lalu, aku berputar dan bertanya-tanya tentang pijakanku yang hilang. Bekerja keras meskipun terluka, pijakan itu semakin lenyap laksana burung terbang menuju kabut.
Hancur. Kecewa. Patah. Kacau.
Patah hati terasa seperti realitas yang paling kejam di sepanjang sejarah manusia. Dari detik ke detik, patah hati begitu menyiksa dan mengerikan. Namun, pada saat yang sama, pengalaman seperti ini malah menjadi yang terindah dalam hidupku.
Karenanya, Tuhan, aku siap untuk patah kembali.
Ternyata duka membuatku berani. Ketika aku menghadapi skenario terburuk, aku menyadari bahwa aku tidak akan rugi.
Segala hal yang sebelumnya aku tunda karena takut dikritik atau ditolak atau jatuh tersungkur... tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak takut melakukannya, bahkan untuk yang kedua kalinya.
Hal terburuk yang pernah terjadi padaku telah terjadi. Dan aku selamat.
Duh, duka telah menunjukkan seberapa kuatnya diriku dalam keadaan yang (tampak) suram. Ini mengingatkanku bahwa hidup itu singkat. Ada begitu banyak hal yang aku kira aku tidak bisa lakukan sampai pada akhirnya, aku tetap melakukannya.
Aku tak pernah tahu bahwa patah hati adalah pemantik api di saat kita terjebak dalam gua yang gelap.
Patah hati membuatku merasa gila, tapi kesakitan itu pula yang menuntutku untuk menyusun ulang daftar prioritas, mempersiapkan lompatan besar dari batu yang menghalangi, kemudian tumbuh bersama rasa duka yang memancing kebijaksanaan.
Ketika aku duduk termenung di alam terbuka, hanya ada dua kata yang tiba-tiba lahir dalam benakku: terima kasih.