Telinga kita sudah tak asing mendengar ungkapan, "Tidak ada sesuatu pun yang gratis." Segala sesuatu memiliki biaya, meskipun biaya tersebut tidak selalu langsung terlihat. Untuk mencapai apa pun, Anda harus melepaskan sesuatu yang lain.
Namun, banyak dari kita yang beranggapan bahwa kebahagiaan itu gratis. Kita ingin bahagia tanpa biaya. Kita ingin imbalan tanpa risiko, keuntungan tanpa rasa sakit.
Ironisnya, keengganan untuk mengorbankan apa pun inilah yang membuat kita semakin sengsara.
Kebahagiaan ada biayanya. Kebahagiaan tidak gratis. Kebahagiaan adalah hasil. Karenanya, ini bukanlah sesuatu yang tumbuh dengan tiba-tiba, atau sesuatu yang sedang menunggu kita di suatu tempat. Kita harus rela "membayar" untuk menjadi bahagia. Nah, bagaimana cara kita "membayarnya"?
1. Kita harus menerima ketidaksempurnaan dan kecacatan
Saya sangat yakin, setiap orang memiliki bayangannya masing-masing terhadap gambaran dari hidup yang sempurna. Pasti pernah suatu ketika, Anda bergumam dalam hati, "Seandainya aku bla bla bla." Lalu Anda mencentang setiap item dari daftar keinginan, bahagia dan tumbuh tua bersama senyuman, kemudian Anda mati.
Sayangnya, hidup tidak berjalan seperti itu. Masalah tidak pernah hilang. Keberhasilan Anda hari ini akan terasa seperti secuil sampah di masa mendatang, karena setelahnya Anda ingin lebih dan lebih lagi.
Kesempurnaan adalah idealisasi. Itu bisa didekati, tetapi tidak akan pernah tercapai. Apa pun persepsi Anda tentang "sempurna" hanyalah gagasan yang cacat dan tidak bisa dicapai. Pada kenyataannya, itu tidak ada.
Kita tidak bisa memutuskan apa kesempurnaan itu. Yang kita tahu hanyalah apa yang lebih baik dan lebih buruk dari apa yang terjadi sekarang. Bahkan dalam banyak kasus, kita sering salah.
Kita mungkin saja sedang berproses menuju kesempurnaan, tapi kita tidak akan pernah mencapai kesempurnaan yang sesungguhnya. Memangnya apa kesempurnaan itu? Semua jawaban yang bercokol di pikiran Anda hanyalah bayangan kesempurnaan yang terbentuk berdasarkan pengalaman-pengalaman Anda. Bahkan pengalaman pun bisa menunjukkan persepsi yang salah.
Karenanya, tujuan hidup adalah kemajuan dan perkembangan, bukan kesempurnaan.
Ketika kita melepaskan persepsi kita tentang apa itu sempurna dan seperti apa kita "seharusnya menjadi", kita akan mampu melepaskan diri dari stres dan frustrasi yang disebabkan oleh kita sendiri yang menjalani beberapa standar yang sewenang-wenang. Dan biasanya, sering tidak disadari, standar itu bahkan bukan milik kita! Itu adalah standar yang kita adopsi dari nilai-nilai orang lain.