Kalau “tidak”, dengan alasan bahwa hal itu lebih sebagai hasil dari bentukan faktor-faktor lain seperti media sosial, lantas apa fungsi yang harus dijalankan sekolah? Di mana pengaruh sekolah terhadap karakter pemuda bangsa kalau begitu?
Berapa banyak waktu yang dihabiskan anak sekolah untuk membaca buku ketimbang waktu mereka untuk menonton film oppa-oppa Korea? Kalau terjadi kemerosotan adab pada anak sekolah, apakah itu sekadar dosa dari film-film remaja picisan?
Lantas, di mana peranan sekolah?
Lalu, cobalah reka-reka sendiri: berapa banyak sebenarnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh anak sekolah saat ini yang memang benar-benar diberikan oleh lembaga yang namanya sekolah? Jangan-jangan malah banyak dari pengalaman mereka terhadap kehidupannya sendiri. Atau dari buku-buku di luar pelajaran sekolah!
Inilah yang membuat Everett Reimer tanpa ragu mengatakan, “Sekolah sudah mati!”
Perhatikan saja niat para anak-anak masuk sekolah! Mayoritas dari mereka hanya ingin berijazah dan bergelar saja! Berapa banyak dari mereka yang benar-benar menikmati pembelajaran? Jangan-jangan (sebagian) sekolah memang sudah gagal dalam membangun suasana belajar yang menyenangkan sehingga murid-muridnya sendiri memilih mencari tempat pelarian.
Saya teringat dengan penggalan lirik dari lagu The Happiest Days of Our Lives (Pink Floyd).
We don’t need no education
We don’t need no thought control
No dark sarcasm in the classroom
Teachers leave them kids alone
Hei! Teachers! Leave them kids alone!
All in all it's just another brick in the wall
Pada akhirnya, kita dapat melihat bahwa para pelajar itu sendiri sudah mulai mengabaikan sekolah dan terobsesi dengan beraneka ragam tren.
Sekolah seperti kehilangan jati dirinya, laksana seorang pahlawan yang dianggap sudah ketahuan akan kelemahannya. Bahkan hakikat dari pendidikan itu sendiri seperti hanya mengambang saja, tak mampu menyelami paradigma para pelajar.
Karenanya, selamat tinggal, sekolah!