Sang penggembala tetap terpayah-payah melanjutkan perjalanannya dalam kepanasan. Unta yang dikendarainya terpatah-patah, memandang semua sudut yang mungkin menyimpan sebuah oasis. Siapa yang tahu, mungkin Padang Sahara adalah taman firdaus bagi banyak kehidupan pada awalnya.
Dan dalam badai pasir yang kusut, seorang pria paruh baya jatuh di dekatnya, patah dan terluka parah. Sang penggembala memberi isyarat untuk berhenti pada untanya, kemudian dia turun berlutut bak seekor unta yang siap menerima beban berat.
"Aku tak akan lama lagi," kata pria sekarat itu dengan tangan mendekap dada yang penuh tulang.
"Dengan segala rasa hormatku, temanku," seru sang penggembala, "apa yang kau katakan tadi tidak berarti apa-apa. Semua jiwa akan mati bahkan sebelum badan kau. Maka, janganlah takut lagi!"
Pria tua itu melihat ke atas dengan rasa tidak percaya. Dan dalam sekejap pandangannya beralih pada rombongan orang-orang berkuda dengan banyak perbekalan. Mungkin 7 orang. Mereka mulai mengerumuni pria sekarat itu.
"Kami sudah tahu, minumlah sedikit air ini," kata salah seorang pria dari rombongan itu dengan badan kekar.
"Apa gunanya? Pria berunta itu memberitahuku sebuah kebenaran bahwa kita memang akan mati. Apa bedanya berumur pendek dan berumur panjang?" katanya dengan suara yang semakin lemah, hampir lenyap.
"Dia hanya seorang penggembala unta," ujar salah seorang pria lain dengan banyak perhiasan. Semua kawanannya tertawa seperti setuju.
Sang penggembala bangkit dan berseru, "Tuan-tuan yang berkuda, jika aku harus mati sekarang juga, aku tidak kehilangan apa-apa tatkala aku kehilangan hidup ini. Oh, kalian benar, aku tidak lebih daripada binatang yang diilhami pemikiran, terkadang dilatih untuk menari oleh lecut pukulan tali sang majikan."
Pria yang sekarat itu sudah dalam penghujung napas, tidak mampu berkata dan hanya menggerakkan lengannya seolah-olah ingin meraih kaki sang penggembala untuk berterima kasih kepadanya.
"Kau baru saja membunuh seorang pria payah dengan ucapanmu, wahai penggembala."