Pada suatu hari yang mendung, seorang teman menyapa saya lewat WhatsApp dan berkata, "Ndi, aku benar-benar khawatir. Aku dan dia kini tidak memiliki perasaan seperti yang dulu kami rasakan satu sama lain. Aku rasa aku tidak lagi mencintainya, dan dia pun tidak lagi mencintaiku. Apa yang harus aku lakukan?"
"Jadi, rasa cinta itu tidak ada lagi?" tanya saya yang sebenarnya ingin meledak bersama guntur saat itu.
"Benar," katanya, "dan kami tak mau berpisah karena orang tua kami sudah saling menyetujui. Apa saranmu?"
"Cintai dia, kalau begitu."
"Perasaan itu sudah tidak ada lagi," sanggahnya.
"Cintai dia."
"Kamu tidak mengerti? Rasa cinta itu sudah tidak ada lagi."
"Justru itu, cintailah dia."
Setelahnya, dia mengabaikan pesan saya seakan menganggap saya ini bodoh dan tak mengerti. Itu tak sepenuhnya keliru, tapi dia terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Saya belum menyelesaikan pesan saya. Karena maksud saya, cinta adalah kata kerja. Perasaan cinta merupakan buah dari cinta itu sendiri sebagai kata kerjanya. Oleh karena itu saya melanjutkan:
"Sahabatku, cinta adalah kata kerja. Perasaan cinta merupakan buah dari cinta, kata kerjanya. Jadi, cintai dia. Layani dia. Berkorban. Dengarkan dia. Berempati. Hargai. Teguhkan dia. Semoga itu tergolong saran yang terbaik."