Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ke Mana Daun Gugur Pergi?

14 Januari 2021   17:01 Diperbarui: 14 Januari 2021   17:03 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mereka yang pergi tak kehilangan hidup mereka | Ilustrasi oleh Couleur via Pixabay

Angsa-angsa itu tampak menikmati pelayarannya di tengah-tengah danau. Bulunya yang putih menipu mata. Mereka seperti melayang. Paruhnya yang merah bagaikan simbol cinta di hamparan kolam susu. Dua angsa dari sekian banyaknya sesekali bersatu-padu membentuk hati dengan lehernya; itu simbol cinta yang suci, pikir Anna.

Angin begitu senang menampar para pepohonan. Tapi karena itulah pepohonan terlihat hidup. Atau mungkin pembawa "kematian"? Terkadang, angin juga menggugurkan daun-daun itu. Barangkali ia adalah malaikat kehidupan; juga kematian.

"Beginilah sedikit kedamaian, Sayang," ungkap Ayah.

Anna hanya mengangguk, memantapkan pandangannya ke tengah danau yang kosong.

"Lihat pohon tabebuya itu! Ia sedang mempertahankan daun-daunnya dari sapuan angin."

"Daun-daun itu terlalu indah untuk pergi. Mengapa angin begitu kejam?" tanya haru Anna tentang pohon tabebuya di seberang danau separuh lapangan bola itu.

"Angin tidak kejam, Anna. Ia hanya menjalankan skenario dari Sang Sutradara."

"Ah, daun-daun pink itu terlalu manis untuk berguguran!"

"Begitulah kehidupan! Segala sesuatunya muncul dan lenyap. Seindah apa pun itu, semuanya rapuh dan tak abadi. Kata 'abadi' tercipta hanya untuk Tuhan."

"Aku tahu. Bukankah itu cukup menyebalkan?"

"Kamu boleh bertanya kepada malaikat."

"Tentang apa?"

"Tentang rasanya hidup dari awal waktu sampai akhir. Bahkan para malaikat pun tak abadi. Mereka sama seperti kita."

"Tapi katanya hidup ini anugerah; sebuah anugerah sangatlah rugi kalau dinikmati beberapa puluh tahun saja."

"Justru karena itulah, Anna. Segala sesuatu menjadi berharga saat ia memang tak abadi. Kamu akan lebih menghargai sepercik cahaya api di dalam gua ketimbang cahaya sang surya sekarang ini."

"Jadi, hidup ini disebut anugerah karena tak abadi?"

"Ayah kira kamu mengerti."

Sejenak keduanya membatu tanpa kata. Lama-lama, tamparan angin ini sangat nikmat untuk diresapi. Dan dalam keheningan itu, seekor burung gagak hitam pekat hinggap di hadapan mereka; persis di tepian danau.

"Seekor gagak!" seru Anna.

"Ia begitu berani hinggap di hadapan kita."

"Aku dengar, burung gagak menjadi pertanda akan adanya kematian. Iihh, menakutkan!"

"Kurang lebih, itu benar!"

"Ayah percaya dengan mitos? Tak kusangka!"

"Setiap detik, bayi-bayi baru muncul dari 'lengan jas Tuhan'. Sim salabim! Setiap detik pula, ada orang-orang yang menghilang. Mantra K E L U A R terucap, maka kamu pun harus keluar. Tidak bisa tidak!"

"Ah, aku mengerti! Ada atau tiada gagak pun, kematian memang terjadi setiap saat?"

Ayah mengangguk.

Anna melanjutkan, "Tapi, Ayah, burung gagak itu benar-benar menjadi pertanda adanya kematian di tempat ini; sekarang ini!"

"Beritahu Ayah!"

"Tidakkah Ayah melihat daun-daun itu? Mereka terlepas dari rantingnya, terbang pasrah menuruti kehendak angin; mereka hanya menjadi budak dari angin-angin."

"Budak dari angin-angin ..." ulang Ayah berusaha meresapi kata-kata itu.

"Ke mana daun gugur itu pergi?"

"Kamu mengatakannya sendiri tadi; ke tempat di mana angin-angin berkehendak."

"Ya, pasti sebuah neraka!"

"Mungkin, mungkin saja salah satu dari mereka hinggap di sebuah api unggun malam. Ia tertelan api panas di dinginnya malam, lalu melanjutkan petualangannya dengan menjadi abu. Mereka menjadi lebih banyak saat menjadi abu!"

"Tuh, kan, sebuah neraka!"

"Tapi mungkin juga ia hinggap di jalanan kota. Seorang penyapu jalanan akan sangat suka itu! Kedatangan daun-daun itu mendatangkan rezeki baginya."

"Ah, daun-daun gugur itu juga bermanfaat rupanya."

"Dan lihat di sana; beberapa daun tabebuya gugur di atas hamparan danau. Ia akan menjadi penyelamat seekor semut yang tenggelam terbawa angin."

Anna tak menanggapi. Ia hanya menjadi pendengar yang baik dari kata-kata Ayahnya yang syahdu.

"Daun-daun gugur itu cukup mirip dengan kita," lanjut Ayah.

"Ayah harus menjelaskan itu!"

"Daun-daun itu akan gugur dengan sendirinya saat ia sudah tua. Tubuh dari daun-daun itu tak lagi mampu menahan dirinya di sebuah ranting. Beberapa di antara kita juga 'pergi' saat usianya sudah sangat tua. Tubuh-tubuh mereka sudah tak mampu lagi bekerja dengan baik."

"Aku hanya akan mendengarkan."

"Terkadang, daun-daun itu juga gugur karena tersapu angin. Itu hanya ungkapan salah satunya. Yang sebenarnya terjadi adalah, umur dari daun-daun itu memang telah habis. Dan tertulis dalam skenario teater alam raya, bahwa daun-daun itu akan gugur karena sapuan angin. Sebagian dari kita 'pergi' saat sedang sakit, bekerja, berkendara, pergi menuju tempat liburan, atau saat beribadah sekali pun. Kemungkinan-kemungkinan itu hampir tak terbatas. Kenyataannya, mereka 'pergi' karena memang sudah menjadi  suratan takdirnya; sudah tertulis dalam skenario-Nya."

"Aku mengerti."

"Ke mana daun-daun gugur itu pergi? Kita sudah membicarakannya. Namun, ada perbedaan dari cara meraih tempat pulang antara kita dengan daun-daun itu."

"Ayah juga harus menjelaskannya."

"Daun-daun itu mungkin hinggap di sebuah api unggun, perairan danau, atau di jalanan kota. Sayangnya, daun-daun itu tak punya kehendak ke mana mereka akan menuju. Terkadang, angin-angin yang berkehendak, atau seorang penyapu jalanan, atau kaki seorang anak kecil di taman."

"Kita tidak begitu, kurasa."

"Ya, kita punya pilihan terkait ke mana kita akan menuju. Kalau api unggun itu sebuah neraka, kita bisa menghindarinya! Kalau perairan danau itu sebuah surga, kita bisa memperjuangkannya!"

"Bergantung dari bagaimana kita menjalani hidup ini," balas Anna dengan puas. Rasanya luar biasa dapat mendengar semua ini.

"Kamu mempelajarinya!"

"Sang Sutradara sudah membocorkan isinya pada kita tentang bagaimana cara mendapatkan peran terhormat di pertunjukan sesungguhnya," ungkap Anna dengan haru.

Ayah mengangguk. "Dan mereka yang tak berhasil berisiko mendapatkan peran yang sangat hina nanti. Begitulah kitab suci menjadi sangat penting bagi umat manusia."

Ayah melanjutkan, "Itu artinya, Anna, manusia yang meninggal tidak kehilangan hidup mereka. Justru, mereka menuju kehidupan sesungguhnya; kehidupan yang abadi."

"Pasti sebuah rumah yang sangat indah untuk berpulang!"

"Ya, mereka baru saja terbangun dari mimpinya; indah atau buruk, tergantung dari bagaimana mereka hidup di dunia."

"Orang-orang 'tertidur' saat hidup dan mereka 'terbangun' saat mati," bijak Anna.

"Kamu menjadi lebih bijak belakangan ini. Semoga Tuhan menghendaki tempat pulang yang indah bagi semua orang. Maukah kamu mengaminkan itu bersama Ayah?"

Anna terbangun dengan tiba-tiba. Badannya tengah bersandar pada pangkuan Ayah; mereka masih berada di tempat yang sama, sebuah batang pohon tumbang. Rupanya angin sejuk di tepi danau telah menghipnotisnya untuk tertidur. Dan dialog syahdu itu hanya mimpi; mimpi surgawi.

"Kamu bangun, Sayang?" tanya Ayah dengan lembut. "Matamu tampak bersinar sekarang ini," lanjut Ayah.

"Maaf, aku terhipnotis oleh angin-angin itu."

"Ya, cukup disayangkan, kamu melewatkan daun-daun tabebuya yang berguguran."

"Ke mana daun gugur itu pergi?"

Cerpen ini merupakan wujud duka mendalam saya atas wafatnya Syekh Ali Saleh Mohammed Ali Jaber. Beliau banyak mengajari kita tentang ajaibnya "seni memaafkan". Semoga Allah merahmati dan meninggikan derajat beliau. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun