Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Kita Merasa Begitu Kesepian?

7 Januari 2021   09:55 Diperbarui: 4 Mei 2022   23:08 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu kesepian? Tentu, kita semua pernah merasakannya dalam beberapa bentuk. Sebab ini pun juga merupakan bagian dari hidup.

Perasaan ini muncul saat ada kesenjangan antara interaksi yang kita inginkan dengan kenyataan. Perasaan terpisah, bahkan terasing ini bisa berlangsung dalam waktu singkat atau lama. Dan ironisnya, merasa kesepian juga terjadi, bahkan saat kita berada di sekitar orang lain.

Di atas kertas, tampaknya tidak akan ada orang yang merasa kesepian di abad ini. Belum pernah kita temukan masa di mana kita memiliki kemampuan untuk terhubung ke semua orang hanya dengan beberapa klik di salah satu dari sekian banyaknya media sosial. Kita hidup di zaman yang menarik. Ruang dan waktu sudah bukan hambatan lagi.

Kita sangat suka melihat postingan jenaka di Instagram, membagikannya pada orang lain, saling lempar emoticon tawa, berkomentar dengan tawa digital "wkwkwk", berteman dengan orang-orang yang belum pernah kita lihat (atau bahkan terpikirkan) di Facebook. Tetapi, kita merasa kesepian.

Kita dikelilingi oleh kemungkinan untuk mudahnya berkoneksi, tetapi rasa kesepian tetap mengganggu kita hingga kita dipaksa mengakui bahwa pertemanan dunia maya yang kita lakukan adalah ilusi.

Sebuah aplikasi tidak bisa menghibur kita saat hidup tampak suram. Foto-foto makanan yang kita bagikan tampak sempurna, tetapi itu tak memuaskan kita. Melihat teman sebaya sudah begitu jauhnya berjalan, kita menggerutu bahwa mereka tak lagi peduli pada kita.

Internet bisa menjadi jebakan. Kita ingin bertemu orang baru, tetapi cara yang sedang marak belakangan ini adalah dengan kenalan online. Sungguh menyedihkan; semakin banyak waktu yang kita habiskan untuk mencari teman online, semakin kita merasa kesepian.

Kita dihadapkan pada masa di mana berkumpul bersama teman adalah dengan duduk berdampingan menatap layar ponsel masing-masing.

Kehidupan modern dengan segala kemudahannya justru telah mempertajam tingkat keterasingan. Maka rasa kesepian pun juga semakin meningkat.

Sebuah studi tahun 2014 yang dirilis oleh Relate menyatakan bahwa dari sekitar 4,7 juta orang, satu dari 10 orang merasa tidak memiliki satu pun teman dekat. Angka ini cukup tinggi, dan juga menyedihkan.

Orang-orang ada di setiap sudut tempat, tetapi bukan orang yang ingin kita ajak minum kopi hangat di balik dinginnya udara musim hujan.

Seorang teman saya berkata, "Aku tidak merasa nyaman di mana pun. Dan aku tidak punya teman. Aku ingin menjadi bahagia, tapi aku pun tak bisa mengendalikannya. Aku merasa begitu kesepian. Setiap kali memikirkan masa depan, aku takut bahwa aku akan selalu sendirian karena aku tak cukup tampan atau lucu."

Saya meresponnya dengan tepuk tangan, mengapresiasi bahwa dia berani mengakui rasa kesepiannya. Padahal tak pernah sebelumnya saya mendengar seseorang berkata, "Hei, aku kesepian!" Cukup konyol!

Alih-alih memberinya solusi, saya justru memberitahu kemungkinan penyebabnya.

Dia terlalu pilih-pilih. Dia dihadapkan pada sebuah teknologi, di mana hanya dengan beberapa klik saja, ratusan orang bisa mengobrol dengannya.

Namun, dia terlalu pilih-pilih. Dia hanya ingin mengobrol dengan seseorang yang cantik, sebaya atau lebih tua sedikit darinya, pipi chubby, berkacamata, glow up, dan lain-lain.

"Kamu bercanda?" tanya saya tak percaya bahwa dia begitu terbuka pada saya. "Pantas saja kamu merasa jelek!"

Saya malah mengambil kesimpulan yang aneh: bahwa merasa kesepian bisa memicu pikiran bahwa kita jelek, tidak layak dicintai atau disukai.

Biasanya orang-orang yang haus akan like pun sering merasa kesepian. Mereka menatap layar ponsel seharian hanya untuk melihat siapa saja orang yang memberi like postingannya.

Dan jika orang yang sebelumnya memberi like kemudian tidak lagi, mereka bertanya-tanya dan mulai merasa jengkel. Mereka kesepian.

Seorang teman lainnya bertanya pada saya tentang bagaimana cara mengatasi rasa kesepian. Hanya karena saya tak begitu aktif di media sosial, dia menganggap saya tak pernah merasa kesepian. Konyol!

Saya pun terkadang merasa kesepian. Apalagi saya jarang sekali keluar rumah; hanya memanaskan satu kursi dengan bokong saya sendiri separuh hari. Saya hanya duduk di kursi yang sama setiap membaca buku atau menulis buku dan artikel.

Tidak ada satu jawaban pun yang pasti, karena mengatasi kesepian itu bisa jadi rumit. Sangat sulit menghilangkan sesuatu yang memang sudah menjadi bagian dari hidup itu sendiri. Tetapi beberapa langkah kecil dan proaktif dapat membantu kita merasa lebih baik.

Apa yang saya lakukan ketika perasaan kesepian mencekik, adalah dengan menyibukkan diri. Sekarang Anda tahu, mengapa saya menulis artikel ini?

Karena saya sedang merasa kesepian. Jadi saya coba sibuk menulis untuk melawan rasa kesepian. Sebuah plot twist yang mencengangkan!

Dan dengan cara ini, kesepian menjadi cara saya untuk lebih produktif. Kesepian memicu timbulnya rasa bosan, dan saya cinta kebosanan. Ide-ide kreatif itu lahir dari kebosanan.

Sebenarnya terjadi sebuah paradoks di sini: Berusaha terlalu keras untuk menghilangkan rasa kesepian, sering kali menimbulkan efek kesepian yang lebih dalam. Karena segala sesuatu yang terlalu dikekang, justru secara paradoksal, kita semakin tersiksa karena usaha penyelamatan kita sendiri.

Semakin keras usaha Anda melupakan sesuatu, semakin Anda mengingatnya. Begitu pun rasa kesepian.

Inilah titik pentingnya: menyadari terjadinya Paradoks Kesepian.

Kesepian bukan diukur dengan jumlah waktu yang kita habiskan sendirian, melainkan oleh bagaimana perasaan kita tentang waktu yang kita habiskan sendirian.

Kita semua benci mengakui rasa kesepian, tetapi kita harus mengakuinya. Dan dari pengakuan itu, bagaimana ia bisa menjadi sesuatu yang berguna? Renungkan itu, karena saya ingin rasa kesepian semua orang bisa menjadi sesuatu yang bermakna.

Saya telah menemukan jawaban versi saya sendiri, bahwa rasa kesepian hanyalah bentuk lain dari kebosanan. Maka kebosanan adalah sebuah alarm untuk saya berbuat sesuatu. Begitulah saya menjadi produktif dari rasa kesepian.

Saya mengakui bahwa media sosial bersifat adaptif. Itu bisa menjadi sumber atau pun solusi dari rasa kesepian kita.

Namun kita harus mengakui, cara efektif menghilangkan rasa kesepian adalah memiliki teman "nyata" dan bersosialisasi secara langsung, berbagi cerita lucu dan tawa alami; bukan sekadar tawa "wkwkwk" atau bentuk emoticon.

Kesepian mungkin merupakan sebuah wabah, tetapi jangan sampai kita menjadi korbannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun