Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebahagiaan Sejati ala Kaum Sinis

3 Januari 2021   09:59 Diperbarui: 3 Januari 2021   10:02 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebahagiaan sejati berawal dari kesederhanaan | Gambar oleh Free-Photos via Pixabay

Banyak orang rela berkelana ke setiap sudut dunia hanya untuk mencari kebahagiaan. Malangnya, itu hanya membuat mereka kelelahan. Mereka menjadi begitu ketergantungan. Padahal Kaum Sinis sudah lama menggemakan, bahwa kebahagiaan datang dari kesederhanaan.

Ini lucu; selucu saat kita mencari sesuatu dengan susah payah, yang padahal ada dalam kantong saku celana kita sendiri. Hidup benar-benar absurd. Dan orang-orang cukup keliru memahaminya.

Ini menjadi tanda tanya besar bagi sepanjang peradaban manusia: Bagaimana kebahagiaan sejati dapat diraih? Banyak orang berusaha mencari jawabannya dengan variasi yang beragam, bahkan sampai membelah sebagian umat ke dalam beberapa kaum/kelompok.

Pencarian kebahagiaan sejati menjadi begitu populer di kalangan banyak orang. Pada tahun 1980-an, beberapa akademisi yang pemberani mulai bertanya sendiri, "Bagaimana dengan apa yang membuat orang bahagia? Mari kita belajar akan hal itu saja!" Dan kemudian semua orang menyambutnya, karena segera muncul lusinan buku tentang "kebahagiaan" yang memenuhi rak-rak buku, memetik jutaan dolar dari orang-orang kelas menengah yang didera kebosanan, kemuraman, dan tengah menderita krisis eksistensial.

Sayangnya, orang-orang terlalu rumit mendefinisikan kebahagiaan sejati, pikir Kaum Sinis. Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, atau bahkan kesehatan yang baik.

Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang.

Aliran filsafat Sinis ini didirikan oleh Antisthenes yang juga seorang murid Socrates. Antisthenes sangat mengagumi kesederhanaan gurunya itu.

Pernah suatu waktu, Socrates sedang berdiri menatap sebuah kedai yang menjual berbagai macam barang. Bukannya pergi untuk membeli, dia malah bergumam, "Betapa banyak benda yang tidak kuperlukan!" Pernyataan ini pun dijadikan moto oleh Kaum Sinis dalam aliran filsafatnya.

Secara gamblangnya, kebahagiaan sejati menurut Kaum Sinis datang dari kesederhanaan. Dan karena kebahagiaan tidak terletak pada segala sesuatu yang acak dan mengambang, maka semua orang dapat meraihnya. Lebih-lebih, begitu berhasil diraih, ia tak akan pernah lepas lagi.

Orang-orang sering salah menafsirkan antara kesederhanaan dengan kemiskinan. Mereka pikir itu serupa, padahal tak sama. Sangat jauh! Pelawak kondang, Cak Lontong, pernah memberikan pandangannya, bahwa miskin itu kondisi hidup, sedangkan sederhana itu gaya hidup.

Kemiskinan bisa diubah jika seseorang memang bertekad untuknya, tetapi kesederhanaan hanya datang dari mereka yang bijak.

Kesederhanaan membawa kita pada situasi, di mana kita tak lagi peduli dengan segala sesuatu yang acak dan kiranya tidak kita butuhkan. Dengan kata lain, orang-orang yang hidup dengan sederhana akan sangat paham; mana kebutuhan dan mana keinginan.

Kaum Sinis percaya bahwa orang tidak perlu memikirkan kesehatan diri mereka. Bahkan penderitaan dan kematian tidak boleh mengganggu mereka. Pun mereka tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang lain.

Konon, seorang Kaum Sinis bernama Diogenes hidup dalam sebuah tong yang tidak memiliki apa pun kecuali sebuah mantel, tongkat, dan kantong roti. Bayangkan betapa tidak mudahnya mencuri kebahagiaan darinya!

Suatu hari, dia sedang duduk di samping tongnya sembari menikmati cahaya matahari menusuk ke badannya. Saat itu juga, dia dikunjungi oleh Alexander Agung. Sang Maharaja berdiri di hadapannya dan bertanya, "Apakah saya dapat melakukan sesuatu untuk membantu Anda? Adakah sesuatu yang Anda inginkan?"

"Ya," jawab Diogenes, "bergeserlah ke samping. Anda menghalangi sinar matahari."

Begitulah cara Diogenes membuktikan, bahwa dia tidak kalah bahagia dan "kaya" dibandingkan dengan pria agung di hadapannya. Dia telah memiliki semua yang diinginkannya.

Barangkali Anda bertanya-tanya, terkait alasan saya mengangkat kebahagiaan sejati ala Kaum Sinis. Sepele saja, Pembaca. Kaum Sinis seakan-akan telah "meramalkan" apa yang saya alami.

Ketidakbahagiaan saya sering datang dari rasa iri dan ketidakpuasan. Iri melihat orang-orang begitu "mudahnya" mendapat apa yang mereka inginkan. Ketidakpuasan pada diri sendiri atas segala yang dimiliki, sesuatu yang sudah pasti.

Itu hanya cara lain untuk mengatakan, bahwa kebahagiaan tak harus dikejar. Semakin kita mengejar, semakin kita dibuat maju. Ia hanya bercokol di angan-angan kita seperti wortel yang tergantung di seutas tali pada tongkat di punggung kita.

Menurut Philip Brickman dan Donald T. Campbell, tingkat kebahagiaan manusia cenderung sangat cepat untuk kembali stabil, terlepas dari terjadinya perubahan dalam hidup yang positif atau bahkan sangat negatif. Ini karena manusia tak pernah merasa puas. Selalu saja ada sesuatu yang harus dimiliki terlepas dari apa pun yang kita raih.

Jika saya menganggap bahwa kebahagiaan saya adalah membeli mobil baru; itu sungguh omong kosong! Setelah saya membeli mobil baru, kebahagiaan itu akan segera kembali stabil dan saya mulai menginginkan sesuatu yang lain. Mungkin berlibur ke pantai, atau membeli kapal pesiar pribadi.

Ini juga seperti kita saat sedang berlari di atas treadmill. Kiranya kita sudah berlari sangat jauh, namun kita tetap berada di tempat yang sama.

Kaum Sinis sedikit banyak telah memberikan jawabannya pada kita. Kebahagiaan sejati datang saat kita merasa cukup dengan apa-apa yang jelas ada. Dan ini berarti, kebahagiaan sejati bisa diraih semua orang.

Siapa bilang seorang pangeran lebih bahagia daripada seorang pemulung pinggiran kota? Jika itu Anda, maka saya sangat menyayangkan, bahwa Anda terlalu cepat mengambil kesimpulan.

Lebih-lebih lagi, kebahagiaan sejati akan tertanam saat kita menggantungkan diri pada sesuatu yang abadi pula. Kita dihadapkan pada dunia yang segala sesuatunya tidak abadi dan rapuh. Dan Islam memberikan jawabannya: adalah ketika kita tergantung pada-Nya; Tuhan semesta alam raya.

Seseorang yang dekat dan mengenal Tuhannya akan hidup seakan-akan sudah tidak lagi membutuhkan hal-hal yang lain karena telah tercukupi dengan kedekatannya pada Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun