Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Biang Kerok itu Berasal dari Paradigma dalam Diri

23 Desember 2020   11:46 Diperbarui: 23 Desember 2020   12:00 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah suatu waktu, aku berkumpul (kembali) bersama teman-teman SD. Di antara semua orang yang hadir, aku sangat mengingat satu temanku yang dulu terkenal dengan kenakalannya.

Cukup lama aku memperhatikannya. Dia menghampiri setiap orang di dekatnya dan bersalaman dengan senyum yang merekah. Aku menyapa salah seorang temanku yang sempat mengobrol dengan temanku yang "nakal" itu.

"Apa yang dia katakan padamu?" tanyaku dengan penasaran.

"Hanya basa-basi orang Indonesia. Oh ya, dengan sedikit ceramah juga."

"Sungguh? Bagaimana mungkin orang seperti dia menceramahimu?"

Dia hanya mengangkat kedua alis dan bahunya, tampak penuh keragu-raguan. Aku kembali memerhatikan temanku yang "nakal" itu. Tak lama, dia menghampiriku.

"Assalamu'alaikum. Lama tak berjumpa. Kamu tampak bukan kamu yang dulu, Ndi," sapanya dengan gelak tawa yang khas. Aku masih ingat dengan suara tawa itu.

"Kamu tampak tak berubah. Aku harap kamu tak mengacaukan acara ini dengan kejahilanmu," balasku balik dengan gelak tawa yang persis.

"Acara ini akan lebih seru kalau ada sedikit kekacauan," sindirnya dengan tawa yang sama.

Beberapa menit kami berbincang, aku menyadari sesuatu yang lain. Dia tak lagi sama. Maksudku, dia benar-benar berubah. 

Kami berdiskusi selama beberapa menit, dan dia sudah menyampaikan 6 ayat Al-Qur'an untuk mengingatkanku tentang kehidupan. Dan aku sedikit banyak merasa malu; malu dengan diri sendiri. Ternyata, aku keliru dalam memandang seseorang.

Aku memandang setiap orang hampir selalu berdasarkan paradigma yang ada dalam diriku. Pandanganku tentangnya yang memiliki sifat nakal dan jahil adalah sesuatu yang dihasilkan dari pengalamanku dan itu menjadi paradigma dalam diriku; bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.

Dalam pengertian yang umum, paradigma adalah cara kita "melihat" dunia - bukan berkaitan dengan pengertian visual dari tindakan melihat, melainkan berkaitan dengan persepsi, mengerti, menafsirkan.

Kita masing-masing cenderung berpikir bahwa kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya; bahwa kita sudah obyektif. Namun pada kenyataannya, tidak demikian.

Kita melihat dunia, bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana kita adanya - atau sebagaimana kita terkondisikan untuk melihatnya.

Ketika kita membuka mulut untuk menjabarkan apa yang kita lihat, kita sebenarnya menjabarkan diri kita, persepsi kita, paradigma kita sendiri.

Ketika orang lain tidak setuju dengan kita, kita segera berpikir pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka. Namun, orang yang tulus dan berpikiran jernih melihat segala sesuatunya secara berbeda, masing-masing melihat melalui lensa unik pengalamannya.

Dan ini tidak berarti bahwa fakta itu tidak ada. Tetapi, setiap orang memiliki "kacamatanya" masing-masing.

Tidak semua perubahan paradigma memiliki arah yang positif. Akan tetapi, entah perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif, entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakkan kita dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain.

Dan perubahan paradigma tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau salah, adalah sumber dari sikap dan perilaku kita, dan akhirnya sumber dari hubungan kita dengan orang lain.

Di awal masa remaja, aku memandang kesuksesan sebagai sebuah kebahagiaan yang tak berujung. Karenanya, aku memiliki tekad kuat untuk menjadi "A", berharap itu akan membantuku. Narasi di luar juga "menyuapiku" dengan berita-berita kesuksesan yang tampak begitu fantastis.

Ternyata tidak demikian!

Aku mencabut paradigma itu dan justru memandang kesuksesan sebagai sebuah perjuangan. Sebab kesuksesan bukan tentang "Apa yang kita inginkan?", melainkan tentang "Apa yang ingin kita perjuangkan dan apa yang membuat kita rela untuk menderita?".

Dengan mencabut paradigma yang telah tumbuh sedari dulu, aku selalu menjaga jarak dengan kesuksesan. Apa yang aku lakukan hanya untuk mencapai tujuan dan prioritas, kesuksesan itu datang tanpa pernah diundang. Dan jika ia pergi tanpa pamit, aku tidak merasa kehilangannya. Aku tak terusik dengan kepergiannya.

Dalam kata-kata Thoreau, "Untuk setiap seribu yang memangkas daun-daun kejahatan, ada satu yang menyerang akarnya." Kita hanya dapat mencapai perbaikan besar dalam hidup kita sewaktu kita berhenti mendorong daun-daun sikap dan perilaku kita dan mulai langsung menyerang akarnya, yaitu paradigma dari mana sikap dan perilaku kita bertumbuh.

Mengubah nilai-nilai lama yang telah kita pegang menjadi nilai-nilai baru sering kali membutuhkan keberanian. Dengan kata lain, melakukan perubahan paradigma dalam diri sendiri bukan sesuatu yang instan. Untuk keluar menjalani nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai lama kita sangat menakutkan.

Tak sembarangan mengubahnya, tetapi kita harus mengerahkan kemampuan yang menjadi ciri khas manusiawi. Binatang tidak mempunyai kemampuan ini. Kita menyebutnya "kesadaran diri" atau kemampuan untuk berpikir tentang proses berpikir Anda sendiri. Ini yang menjadi alasan mengapa manusia memiliki kekuasaan atas semua benda di dunia ini dan mengapa manusia dapat membuat kemajuan penting dari generasi ke generasi.

Kita bukanlah suasana hati kita. Kita bahkan bukan pikiran kita. Kenyataan bahwa kita dapat berpikir tentang hal-hal ini memisahkan kita dari kedua hal tersebut dan dari dunia binatang.

Kesadaran diri memungkinkan kita memisahkan diri dan memeriksa cara kita "melihat" diri sendiri - paradigma diri kita sendiri, paradigma paling mendasar dari efektivitas. Hal ini memengaruhi bukan hanya sikap dan perilaku kita, tetapi juga bagaimana kita melihat orang lain. Ini menjadi "peta" untuk sifat dasar manusia.

Kesadaran diri sendiri bukan sesuatu yang selalu dimiliki individu sejak lahir, melainkan keterampilan yang dipelajari dari waktu ke waktu. Kita bisa melihat betapa malangnya anak-anak yang mendekati api karena menarik mata mereka dibandingkan sebuah roti. Dan untuk orang-orang seperti kita yang memiliki kesadaran diri, orang sinting mana yang memilih api untuk disentuh daripada sebuah roti untuk mengatasi rasa lapar?

Dengan menjadi sadar diri, kita dapat menjalani hidup dengan menghormati kebutuhan dan emosi pribadi kita. Meskipun ini adalah keterampilan yang dipelajari, beberapa orang mungkin menemukan bahwa mereka menjadi sadar diri secara lebih alami daripada yang lain.

Dengan kesadaran diri yang kita miliki, kita dapat menyusun ulang "naskah" yang telah tumbuh sedari dulu.

Inilah sebabnya kita dapat mengevaluasi dan belajar dari pengalaman orang lain dan juga dari pengalaman kita sendiri. Inilah sebabnya kita dapat membentuk dan memutus kebiasaan kita.

Paradigma adalah akar dari segala sikap kita.

Lihat betapa malangnya Socrates yang dihukum mati oleh rezim demokrasi Yunani saat itu. Dengan wajah "jelek" dan perut yang buncit, Socrates dipandang sebagai "badutnya" Athena.

Dia sering berada di pusat alun-alun Athena dan mengajak berdiskusi orang-orang yang ditemuinya. Tidak menggurui, dia hanya memberi beberapa pertanyaan filosofis kepada mereka. Dan entah mengapa, mereka tersindir dan merasa dipermalukan oleh Socrates.

Dia dituntut atas pelajaran-pelajaran filsafat yang disampaikannya. Dan pada akhirnya, Socrates diberi pilihan antara meninggalkan kota Athena atau meminum sendiri racun cemara (karena demokrasi saat itu tidak membolehkan adanya hukum mati).

Ironisnya, Socrates memilih untuk meminum racun cemara itu. Sungguh bijaksana! Seandainya dia kabur, orang-orang dapat menyimpulkan bahwa gagasan-gagasan Socrates adalah tidak benar! Socrates memilih untuk mati dengan mempertahankan gagasan-gagasannya yang bijaksana.

Sebagai salah satu pionir dalam "berfilsafat", Socrates dikenal sebagai salah satu bapak filsafat.

Sepertinya kita harus hati-hati dalam melihat dengan mata, dan memulainya dengan akal atau hati. Karena dengan mata, seorang "badut" terlihat konyol dan bodoh. Namun dengan akal atau hati, seorang "badut" ternyata adalah bapak ilmu filsafat.

*Beberapa gagasan dalam tulisan ini terinspirasi dari buku The 7 Habits of Highly Effective People karya Stephen Covey

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun