Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Terjebak dalam Kemerdekaan Palsu

19 Desember 2020   09:21 Diperbarui: 19 Desember 2020   09:25 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seandainya saya diberi pilihan untuk tinggal di 50 rumah dan harus memilih satu, barangkali Anda berbahagia bila mendapatkannya, tapi itu musibah bagi saya. Secara paradoksal, banyaknya pilihan itu membuat saya tak akan merasa puas dengan apa yang saya pilih. Misalnya saya memilih rumah ke-3. Walaupun saya cukup nyaman dengan rumah itu, saya malah akan skeptis: jangan-jangan rumah ke-4 lebih nyaman dari rumah yang saya pilih.

Tetapi seandainya saya hanya diberi 2 variasi pilihan, saya lebih puas dengan pilihan saya karena hanya 1 yang saya korbankan, bukan 49 variasi pilihan.

Dengan kata lain, semakin banyak variasi pilihan malah membuat kita diperbudak oleh pilihan kita sendiri. Maka kemerdekaan sejati justru datang ketika kita mampu "berkata tidak" pada pilihan-pilihan yang tidak sesuai dengan prioritas/tujuan/komitmen kita.

Sebagai perpanjangan dari budaya positif/konsumen, banyak dari antara kita telah "termakan" oleh keyakinan bahwa kita harus mencoba secara inheren untuk sedapat mungkin menerima dan mengafirmasi sesuatu. Ini yang menjadi batu fondasi berbagai macam buku "Positive Thinking": buka diri Anda terhadap peluang yang ada, dengan menerima, berkata ya pada setiap hal dan setiap orang, dan bla bla bla..

Tetapi kita perlu menolak sesuatu. Jika tidak, kita kehilangan alasan untuk bertahan.

Jika tidak ada yang lebih baik atau lebih diinginkan daripada yang lain, kita akan merasa hampa dan hidup kita menjadi tanpa makna. Kita hidup tanpa nilai dan akibatnya kita menghidupi kehidupan tanpa tujuan.

Menghindari penolakan (baik memberi atau menerima penolakan) sering ditawarkan kepada kita sebagai jalan untuk membuat diri kita merasa lebih baik. Tetapi menghindari penolakan memberi kita kenikmatan sesaat yang membuat kita tanpa kemudi dan tanpa arah jangka panjang.

Untuk sungguh mengapresiasi sesuatu, Anda harus membatasi diri Anda sendiri. Ada tingkat kegembiraan dan makna tertentu yang akan Anda raih dalam kehidupan, hanya jika Anda menghabiskan puluhan tahun membina satu hubungan tunggal, satu karya tunggal, satu karier tunggal atau satu pasangan romantis.

Jika saya memilih bahagia dengan cara yang sederhana, berarti saya memilih untuk tidak memaksa orang lain menyukai saya dan membuat saya bahagia. Jika saya memilih untuk menilai diri berdasarkan kemampuan saya untuk terbuka dan menerima pertemanan, artinya saya menolak untuk mengata-ngatai mereka di belakang.

Itu semua adalah pilihan yang sehat, dan menuntut penolakan di setiap langkahnya.

Maka pertanyaannya bukan lagi, "Apa yang kita inginkan?" melainkan, "Apa yang kita pedulikan?" Terlalu banyak pilihan yang kita miliki membuat kita semakin sulit dalam "masa bodoh" terhadap masalah-masalah kecil. Kita akan dipenuhi masalah-masalah yang mungkin tak mampu kita tangani dengan baik. Maka bukan kemerdekaan sejati yang kita dapatkan, malah diperbudak oleh banyaknya pilihan yang kita miliki. Itulah kemerdekaan palsu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun