Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kita Tak Sedang Masuk UGD

28 November 2020   14:24 Diperbarui: 28 November 2020   15:22 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak hal yang saya sesali dalam hidup ini (setidaknya untuk sekarang). Dan penyesalan itu kebanyakan datang karena kekeliruan saya sendiri.

Saya selalu beranggapan bahwa hidup adalah sesuatu yang darurat.

Kita semua tahu, bahwa kita memang memiliki waktu yang terbatas di dunia ini. Dan karenanya, kita selalu memandang hidup sebagai sesuatu yang darurat; harus menyelesaikan berbagai hal secepat mungkin.

Atau hanya saya yang memiliki pandangan seperti itu? Tidak, tidak mungkin!

Pada nyatanya, secepat apa pun kita menyelesaikan sesuatu, "daftar tugas" kita tak akan pernah kosong dalam hidup ini. Tidak ada ujungnya.

Apa yang kita kira itu akan memuaskan kita hanyalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita sendiri untuk mengiming-imingi kebahagiaan sementara. Kita tak akan pernah puas.

Saya teringat betapa kelirunya saya ketika mengerjakan sesuatu dengan terburu-buru, hingga semua itu berakhir dengan kehancuran karena ketergesa-gesaan saya. Dan semua itu menyiksa saya dalam bentuk penyesalan di masa mendatang.

Kenapa aku begitu tergesa-gesa? Kenapa aku begitu berambisi, padahal sebenarnya aku bisa melakukannya dengan lebih baik. 

Saya cukup yakin, kita semua sering merasa demikian.

Kita memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan skenario yang ada di dalam kepala kita. Pada akhirnya, beragam masalah kecil pun kita tanggapi sebagai masalah yang besar dan darurat untuk dipecahkan.

Sebagian besar di antara kita menjalani hidup seperti sedang lomba lari maraton; kita saling beradu cepat menyelesaikan masalah tanpa bisa mengambil makna apa pun dari masalah-masalah kita.

Hampir dalam segala hal yang kita hadapi dilakukan seakan kita sedang ditodong pistol; di mana jika kita terlambat, kita mati tertembak.

Semua orang ingin masalahnya cepat selesai, hingga mereka tak benar-benar menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka hanya lari dari satu masalah ke masalah lain; mengira mereka telah menyelesaikan satu per satu masalahnya.

Salah satu alasan utama mengapa kebanyakan di antara kita selalu tergesa-gesa, cemas dan bersikap kompetitif, serta menjalani kehidupan seolah-olah dalam keadaan darurat, adalah kita takut bila kita menjadi orang yang lebih tenang dan lemah lembut, kita tak bisa lagi mencapai sasaran kita. 

Kita takut diri kita menjadi malas dan masa bodoh.

Tunggu dulu, jangan dikira orang yang tenang tak akan mampu mencapai sasaran-sasarannya dengan cepat.

Jangan-jangan menjadi pribadi yang lebih tenang adalah kunci untuk bisa mencapai tujuan dan sasaran kita dengan lebih cepat?

Bersikap lebih tenang dalam menjalani suatu hal justru membuat kita lebih teliti dan hati-hati. Ini bukan sesuatu yang sudah basi untuk dibicarakan. Nyatanya, Anda tetap saja berharap impian Anda terwujud secepat mungkin dan mengejarnya dengan tergesa-gesa.

Mari kita analogikan dengan sederhana.

Dalam berkendara, mana yang lebih baik; berjalan ngebut atau pelan? 

Maaf, itu pertanyaan bodoh. Maksud saya, kita semua pasti memiliki jawaban yang sama (kecuali jika Anda sedang terburu-buru).

Tapi itulah perbedaannya antara berkendara di jalan dengan menjalani hidup ini.

Ketika berkendara, mungkin saja Anda lebih memilih untuk ngebut karena sedang terlambat menghadiri acara penting; misalnya pernikahan mantan.

Tetapi dalam hidup, kita tidak dituntut apa pun; memangnya hidup menuntut apa dari kita? Umat beragama percaya bahwa hidup adalah untuk menjalani segala perintah Tuhan yang ada dalam kitab suci. Maka pertanyaannya, apakah Tuhan menuntut kita untuk terburu-buru?

Dan sekarang saya agak skeptis; atas dasar apa kita menjalani hidup dengan tergesa-gesa?

Bahkan karena berkendara adalah bagian dari hidup itu sendiri, masih adakah alasan logis untuk kita berjalan ngebut? Pusing? Selamat datang di paradoks ala Andi, hehe.

Semakin cepat kita mengemudikan kendaraan kita, semakin sulit kita mengendalikan kendaraan. Apalagi jika di depan terdapat sesuatu yang menghalangi, kita lebih sulit untuk menghindar; maka kemungkinan untuk terjadi kecelakaan pun sangat besar.

Begitu pun hidup, semakin kita tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu, semakin sulit kita “mengendalikan” diri sendiri. Maka peluang terjadinya kegagalan dan penyesalan pun menjadi semakin besar.

Itulah jawabannya. Menyelesaikan segala hal dengan cepat (yang selama ini kita anggap baik) ternyata hanya akan membuat kita sulit mengendalikan diri dan hambatan yang menghalangi lebih sulit dihindari.

Tetapi dengan lebih tenang menjalani segala sesuatu membuat kita lebih mudah untuk menghindari segala hambatan, karena kita lebih berhati-hati, juga teliti. Dan yang terpenting, kita menikmatinya.

Kuncinya bukan "berjalan" lambat, tapi "berjalan" lebih tenang. Hanya balita yang tak bisa mengenali perbedaan di antara keduanya. Dan itu yang saya rasakan manfaatnya.

Memang, ada beberapa kondisi di mana waktu “mengejar-ngejar” kita. Tetapi tetap menjalaninya dengan tenang pun bukan suatu ide yang buruk, kan?

Kita sering kali takut bahwa kita tak dapat menyelesaikan apa pun jika kita terlalu bersikap tenang. Kita takut, bahwa maut mendahului kesuksesan kita. Saya pun mulai bertanya-tanya, apakah sukses adalah tujuan kita hidup di dunia ini?

Kita dapat menghilangkan ketakutan ini dengan menyadari bahwa pada kenyataannya, yang terjadi adalah hal sebaliknya. Ketakutan dan pikiran kalut membutuhkan energi yang luar biasa besar dan menghilangkan kreativitas serta motivasi dari hidup kita. 

Bila kita penuh kecemasan dan ketakutan, secara harfiah kita kehilangan potensi terbesar diri kita, belum lagi kenikmatan hidup. 

Setiap sukses adalah “meskipun kita takut”, bukan “karena kita takut”.

Anda menyadarinya? Ya, pembaca, terjadi sebuah hukum kebalikan di sini.

Semakin Anda tergesa-gesa dalam menyelesaikan sesuatu, semakin lama waktu yang Anda habiskan untuk itu. Karena dengan tergesa-gesa, Anda akan mudah untuk terhambat oleh hal-hal yang sulit Anda hindari.

Begitu pun sebaliknya.

Kita tak sedang masuk UGD. Dengan kata lain, hidup bukanlah keadaan gawat darurat. Tak selalu. Cara memahami petuah ini adalah dengan menyadari apa tujuan sesungguhnya kita hidup di dunia ini. 

Jika kita benar-benar memahaminya, kita bisa lebih tenang dalam menjalani segala masalah, juga tak tergesa-gesa demi kenikmatan masalah itu sendiri. Setiap masalah bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan jika kita benar-benar menikmatinya. Dengan cara seperti itu juga, kita lebih mudah untuk tahu tentang apa pelajaran di balik masalah itu.

Saya pun mendapatkan pelajaran penting: bahwa bila kita memiliki apa yang kita inginkan (ketenangan batin), kita tidak akan terlalu diganggu oleh keinginan, kebutuhan, impian, dan masalah kita. 

Jadi, kita akan lebih mudah berkonsentrasi, meraih tujuan, dan bahkan memberikannya kepada orang lain.

Saya tak pernah menemukan orang (termasuk diri saya) yang tidak pernah mengubah masalah kecil menjadi masalah besar yang harus segera dipecahkan. Kita terlalu serius memikirkan sasaran kita sehingga lupa menikmati hidup sepanjang jalan menuju tujuan itu, dan lupa mengendurkan langkah. 

Kita mengambil pilihan sederhana dan mengubahnya menjadi syarat supaya kita bahagia. Atau, kita menyalahkan diri sendiri bila tidak mampu mencapai tenggat yang kita buat sendiri. 

Langkah pertama untuk menjadi orang yang lebih tenang adalah memiliki kerendahan hati untuk mengakui bahwa, pada kebanyakan kasus, kita menciptakan sendiri keadaan darurat kita. Hidup ini akan terus berlangsung walaupun ada hal-hal yang berjalan tidak sesuai rencana. 

Kita semua membayangkan keindahan mencapai puncak gunung yang menawan. Tetapi kita gagal menyadari, bahwa proses pendakian menuju puncak gunung itulah letak kebahagiaan sesungguhnya.

Jika kita terus-menerus menganggap bahwa hidup adalah keadaan darurat, kita tak akan pernah bisa mendalami makna berharga dari setiap masalah. Karena satu-satunya cara menemukan makna itu adalah dengan menikmatinya dan mulai "menggali" setiap potensi dari dalam diri kita.

Secepat apa pun kita menyelesaikan “tujuan”, “daftar tugas” kita tak akan pernah kosong sepanjang perjalanan hidup kita. Agak-agaknya, petuah “Kita tak sedang masuk UGD” sangat bermanfaat untuk diingat-ingat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun