"Ibu sepertinya kurang begitu peduli dengan pertumbuhan dan perkembanganku." Begitu pikir saya selama masa kanak-kanak.
Jika harus digambarkan dalam segi dimensi perfilman, ibu saya adalah pemeran sosok ibu yang paling cuek sepanjang sejarah. Anda tidak sedang berpikir tentang sosok ibu yang ada di sinetron azab itu, kan? Tidak, tidak! Bukan itu yang saya maksud, pembaca!
Bukan tanpa alasan, ibu saya hampir tak pernah memberikan nasihat apa pun kepada saya layaknya seorang ibu pada umumnya.
Ketika saya berkunjung ke rumah saudara atau teman, ibu mereka selalu cerewet memberikan nasihat ini-itu. Dan agak-agaknya, semakin banyak nasihat yang diberikan, semakin banyak pula di antara nasihat-nasihat itu yang diabaikan. Logis, bukan?
Selama 12 tahun saya mengenyam pendidikan sekarang ini, ibu hampir tak pernah menanyakan apa pun tentang kondisi saya di sekolah. Entah itu soal nilai ujian, kenyamanan saya berada di sekolah, tentang teman-teman saya; hampir tak pernah bertanya tentang itu. Jika memang pernah, saya tidak bisa mengingatnya kapan itu terjadi.
Saat seorang teman mengajak saya belajar di rumahnya, dia disambut oleh ibunya dengan pertanyaan, "Belajar apa kamu hari ini, Nak?"Â
Seketika itu pula terbesit bisikan dalam diri saya, "Ibuku benar-benar berbeda!" Saya tak pernah mendapatkan pertanyaan serupa. Bahkan selama saya menempati peringkat 1 dari SD hingga sekarang, ibu hanya akan selalu berkata, "Itu bukan satu-satunya patokan bahwa kamu cemerlang. Bagaimana pun juga, angka hanyalah angka."
Ayolah, saya ingin seperti mereka; dibelikan ini-itu ketika mendapatkan prestasi. Sedangkan ibu saya berkata demikian dengan begitu dinginnya. Huftt.. Saya semakin percaya bahwa ibu kurang begitu peduli pada perkembangan diri saya.
Pemikiran itu terus bermukim dalam diri saya selama masa kanak-kanak. Kendati demikian, saya sangat mencintainya.
Tibalah masa remaja, dan saya mendapati suatu kesimpulan yang aneh sekaligus nyata: bahwa ibu adalah guru terbaik saya dengan segala kecuekannya.
Saya sadar, bahwa beliau tidak memberikan kata-kata berharga (seperti ibu teman-teman saya), melainkan beliau adalah pemberi suri tauladan terbaik sepanjang saya bernafas hingga kini. Bahkan saya tidak melebih-lebihkan hal itu.