Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Terlihat Ambyar, Siapa yang Salah?

27 September 2020   18:46 Diperbarui: 29 September 2020   05:15 2851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita terlalu disibukkan dengan hal-hal yang sungguh tidak terlalu berfaedah. Sampai kita lupa, bahwa masalah kuno sistem pendidikan kita masih belum terselesaikan. Ya, silakan Anda pahami sendiri melalui gambar di bawah

Setiap orang itu unik, sedangkan kurikulum kita masih memaksa setiap orang untuk menjadi lebih hebat. | sumber: 9gag.com
Setiap orang itu unik, sedangkan kurikulum kita masih memaksa setiap orang untuk menjadi lebih hebat. | sumber: 9gag.com
Ya sudahlah, saya tidak pandai mengkritik, apalagi tentang nyinyir.

Tapi jika berkenan, terimalah secuil surat kecil saya untuk dimensi pendidikan kita (atau diperuntukkan tidak untuk siapapun). Mungkin ini akan menjadi surat paling payah dan membosankan sepanjang sejarah. Tapi ini bentuk amin paling serius saya saat ini.

Saya tahu ini sulit. Segalanya terlihat begitu ambyar. Ekonomi, politik, kesehatan, tidak lupa pendidikan, semua terlihat begitu ambyar dan kacau. Tapi kita belum berakhir. Harapan itu masih ada, cahaya itu belum redup, Tuhan belum meninggal dan tidak akan meninggal. Jadi kenapa kita begitu khawatir? Kita bukan bangsa yang abal-abal. Perlu adanya integrasi antara inisiatif dari masyarakat, kebijakan pemerintah, dan para stakeholder di negeri ini. Demikianlah negeri ini akan menjadi satu. Tanpa kesepakatan, kita semua hanya berjalan masing-masing, tidak ada bedanya seperti berjalan di atas treadmill. Sudah waktunya kita lupakan perbedaan, dan berdiskusi atas segala persamaan. Bukankah katanya negeri ini menjunjung tinggi nilai toleransi, ya?

Mungkin ini tidak akan membuat Indonesia mendapat reputasi internasional atau terpilih sebagai negara terkeren seantero planet. Tapi apa gunanya mencari peringkat di mata manusia? Siapa yang peduli akan hal itu? Remember only God can judges us. Jadi, sungguh tidak ada ruginya, bukan?

Demikian surat tersebut saya tulis. Tentu saja, saya menuliskannya dengan tulisan tangan saya yang begitu jelek, sehingga siapapun yang menerimanya akan meremas surat itu dan melemparkannya kepada wajah orang didekatnya di hari yang cerah. 

Bukan sesuatu yang istimewa, memang. Mungkin hal tersebut juga yang membuat saya untuk tidak menuliskan surat kepada siapapun.

Jadi, siapa yang patut dipersalahkan atas semua problematika, polemik, dan kekacauan ini? Si makhluk mikroskopik itu? Atau para stakeholder? Atau rakyat?

Entahlah, yang jelas, ini bukan salah siapa-siapa. Karena segala-galanya, tidaklah begitu ambyar. Tuhan, sedang "menunggu" kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun