Tulisan ini tidak akan mengandung "solusi" jitu, bukan juga sebuah “polusi” untuk dibuang. Entah curhat atau apa, saya memang tidak memiliki butiran debu ajaib mimi peri yang bisa menghilangkan segala masalah dalam satu kedipan mata.
Beruntungnya, kita memiliki Bapak Mendikbud yang begitu bijak dan charming. Artinya, harapan itu masih ada, cahaya itu belum redup, dan segalanya tidaklah terlalu ambyar.
Pada Rapat Koordinasi bersama Menteri Dalam Negeri (Mendagri), awal September 2020, Pak Nadiem menyampaikan bahwa Kemdikbud telah membentuk kurikulum darurat, khusus di masa pandemi. Bukan, ini bukan kurikulum baru. Ini merupakan kurikulum 2013 yang disederhanakan menjadi lebih padat dan lebih "renyah".
Tidak main-main, kurikulum darurat ini disusun oleh para pakar pendidikan baik dari Mendikbud maupun non Mendikbud. Setiap mata pelajaran telah diringkas sekitar 20-40%.
Tentu saja, hal ini merupakan jawaban dari Kemdikbud terkait persoalan tuntutan kurikulum yang menimpa para pengajar.
Pemberian tugas yang tiada henti merupakan bentuk kepedulian para pengajar dalam mencapai standar kurikulum, katanya. Sekarang setelah adanya kurikulum darurat ini, mereka mau bilang apa lagi?
Lebih bijaknya, Kemdikbud tidak memaksakan kurikulum darurat ini diterapkan di semua instansi pendidikan. Ini kan era Merdeka Belajar, untuk apa dipaksakan? Yang jelas, ini 100% legal dan sangat dianjurkan.
Untuk tingkatan yang lebih bawah, yaitu PAUD dan SD, Kemdikbud telah menyediakan modul pembelajaran yang bisa dicetak setiap sekolah sehingga anak-anak terkait tidak perlu memaksakan diri menggunakan teknologi.
Karena faktanya, belajar di depan layar ponsel atau laptop membuat anak-anak di usia ini tidak bisa fokus dalam belajar. Dan sekali lagi, Kemdikbud tidak memaksakan. Tapi dengan manfaat yang begitu "wah" dan "keren" ini, menggunakan modul pembelajaran sungguh tidak ada ruginya, bukan?
Kemudian, Kemdikbud juga memohon untuk relaksasi dana BOS dan BOP digunakan sebaik mungkin dalam menunjang pembelajaran daring selama pandemi. Ditambah lagi subsidi kuota yang mencapai 7,2 triliun rupiah sudah masuk dalam rencana Kemdikbud, dan pastinya kita sudah mendengar kabar tersebut.
Di balik
sedikitcahaya yang telah saya paparkan, metode Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini tidak bisa dinilai efektif atau sekadar membantu. Metode PJJ sangat tidak diinginkan, tidak ideal, apalagi optimal. Siapa yang akan menyangkal hal tersebut?