Mohon tunggu...
Muhammad Alief Farezi
Muhammad Alief Farezi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan pada Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Lampung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal LHKPN sebagai Langkah Preventif Pencegahan Tindak Pidana Korupsi

3 Juni 2023   07:43 Diperbarui: 3 Juni 2023   07:43 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belum lama ini banyak menjadi sorotan media terkait harta kekayaan yang dimiliki kedua pejabat struktural kementrian keuangan yakni Rafael Alun Trisambodo (Kepala Bagian Umum DJP Kanwil Jakarta Selata)  dengan harta kekayaan yang tercatat oleh KPK adalah senilai 56 serta Eko Darmanto (Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai Yogyakarta) dengan harta kekyaan  6,72 miliar. Jumlah harta kekayaan kedua pejabat struktural yang telah dicobot dari jabatannya masing-masing tersebut tentu menjadi pertanyaan besar bagi publik. Harta yang dimiliki oleh keduanya dinilai tidak wajar mengingat keduanya berstatus sebagai Aparaturn Sipil Negara (ASN). Oleh karena itu, KPK langsung memeriksa laporan Hasil Kekayaan Penyelenggaa Negara (LHKPN) keduanya. Pelaporan LHKPN dinilai sebagai salah satu soluisi yang dapat menjawab kecurigaan public ats harta yang dimiliki keduanya. Lantas bagaimana LHKPN dapat menjadi sarana preventif pencegahan tindak pidana korupsi?

Laporan Harta Kekayan Penyelenggaraa Negara (LHKPN) merupakan laporan dalam bentuk dokumen, namun tidak terbatas pada dokumen elektronik tentang uraian dan rincian informasi mengenai harta kekayaan, data pribadi, penerimaan, pengeluaran, dan data lainnya atas harta kekayaann penyelenggara negara. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme telah mengatur bahwa yang termasuk penyelenggara negara diantaranya meliputi:

  • Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
  • Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
  • Menteri
  • Gubernur
  • Hakim
  • Pejabat negara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  • Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkualifikasi diantaranya direksi, komisaris, dan pejbat strukturan BUMN, dan BUMN, pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri, Pejabat Eselon 1, Jaksa, Penyidik, Panitera Pengadilan, dan Pemimpin serta bendaharawan proyek

Perlu diketahui selain jabatan sebagaimana tersebut diats juga telah terkualifikasi pejabat negara lainnya yang wajib menyampaikan LHKPN sebagaimana yang diatur dalam Surat Edaran Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yakni diantaranya Pejabat Eselon II, Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan, Pemeriksan Bea dan Cukai, Pemeriksa pajak, Auditor, Pejabat yang mengeluarkan perizinan, Pejabat,/kepala unit pelayanan masyarakat, dan pejabat pembuat regulasi. Selain itu, diterbitkan pula Surat Edaran: SE/05/M.PAM/04/2005 yang memutuskan oimpinan instansi masin-masing untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan jabatan-jabatan yang rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme dilingkungan masing-masing Instansi.

LHKPN merupakan bentuk kewajiban yang pelaksanannya wajib dilakukan oleh setiap penyelenggaran negara hal itu telah tegas diatur dalam Pasal 5 angka 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme mengatur bahwa setiap penyelenggaran negara berkewajiban untuk bersedia diperiksa kekayannya sebelum, selama, dan setelah menjabat, kemudian penyelenggara negara wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.

Berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tercatat jumlah wajib LHKPN Tahun Lapor 2021 per 31 Desember 2022 adalah 382.020 orang, dengan jumlah yang telah menyampaikan LHKPN sebanyak 375.760 orang sehingga tingkat pelaporan LHKPN secara nasional sampai dengan tanggal tersebut adalah 98.36%. Meskipun berdasarkan laporan yang tercatat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat apabila pelaksanaan LHKPN telah berjalan dengan baik secara statitistik, namun tidak dapat dipungkiri jika praktik di lapangan tidak begitu sempurna sebagaimana data yang ada. Dua kasus yang baru saja ramai diberbincangkan oleh publik yakni pejabat penyelenggara negara instansi kementrian keuangan yang diketahui memiliki harta kekayaan diatas rata-rata, tentu seakan menimbulkan pertanyaan besar bahwa apakah terdapat sanksi tegas bagi pejabat yang memiliki kewajiban untuk melakukan laporan harta kekayaannya.

Melaporkan harta kekayaan merupakan salah satu cara untuk memberantas korupsi dan membentuk aparatur negara yang bersih dan berintegritas. Tidak dapat dipungkiri penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi atau keluarga yang melampaui batas-batas yang telah dibuat oleh hukum merupakan bentuk korupsi yang sering terjadi sampai dengan saat ini. Salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).  Penegakan hukum terhadap praktik peningkatan kekayaan secara tidak sah (illicit encrichment) yang terjadi pada penyelenggara negara di Indonesia harus di akui bahwa masih belum berjalan optimal. Hal itu tentu menjadi salah satu permasalahan tersendiri mengingat sampai saat ini belum terdapat hukum positif yang secara specialis mengatur perbuatan tersebut. Sementara itu, diketahui bahwa penegakan hukum terhadap praktik illcit enrichment dan kewajiban pelaporan LHKPN sangat efektif dalam mengungkap praktik tindak pidana korupsi.

Berdasarkan peristiwa hukum yang terjadi dapat dianalisis bahwa salah satu kelemahan praktik LHKPN di Indonesia adalah dalam hal pemberian sanksi. Sanksi yang melekat pada pelanggar LHKPN hanyalah sanksi administratif yang secara normatif pun tidak begitu tegas di atur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Sementara itu dalam undang-undang tersebut telah diatur tegas bahwa LHKPN merupakan instrument untuk mencegah penyelenggara negara melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri apabila penerapan sanksi pidana dapat menjadi salah satu terobisan hukum (rule breaking) untuk menegakan efektifitas penerapan LHKPN. Jangan sampai penyelenggara negara hanya seolah menggugugurkan kewajiban melaporkan LHKPN ke KPK, sehingga laporan yang terjadi masih sekedar formalitas dan penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN tidak dikenai sanksi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun