Mohon tunggu...
Hasan Izzurrahman
Hasan Izzurrahman Mohon Tunggu... Penulis - Diam Bersuara

Peneliti multidisiplin. Mengkhususkan diri dalam ilmu politik, hubungan internasional, kebijakan luar negeri, dan hak asasi manusia. Kontak saya di hasanizzul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Israel dan Fobianya terhadap Ramadhan

10 April 2022   13:48 Diperbarui: 10 April 2022   14:04 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan Keamanan Israel berpatroli di Tel Aviv. REUTERS/Ammar Awad 

Bagi umat Islam, bulan suci Ramadhan selalu berkaitan dengan kedamaian, ketenangan, kebahagiaan, momen mendekatkan diri kepada Allah, dan keluarga.

Di banyak negara Muslim, otoritas publik dan pengusaha sektor swasta mengurangi jam kerja untuk memungkinkan karyawan mereka beribadah dan berdoa dalam suasana yang lebih tenang.

Teman, tetangga, dan kerabat sering mengadakan makan untuk berbuka puasa setiap hari, di mana orang-orang yang biasanya terlalu sibuk untuk bertemu, maka di bulan Ramadhan mereka dapat berkumpul.

Situasi di wilayah Palestina yang dianeksasi, bagaimanapun berbeda dalam banyak hal, terutama di Yerusalem, di mana Israel tampaknya memiliki fobia terhadap Ramadhan.

Ramadhan tahun lalu, jika kita masih ingat, ketika pemukim ilegal Israel secara tiba-tiba menyerbu Masjid Al-Aqsa untuk merayakan 'penyatuan Yerusalem' dan tujuh keluarga Palestina berada di bawah ancaman pengusiran dari tanah mereka di Sheikh Jarrah. Kemudian berkembang menjadi serangan mematikan terhadap warga Palestina, khususnya di Jalur Gaza.

Ramadhan tahun ini, petugas bersenjata juga telah dipersiapkan di pos pemeriksaan yang tak terhitung jumlahnya. Mereka memeriksa seluruh identitas jemaah yang menuju shalat di Masjid Al-Aqsha. Ribuan polisi Israel, termasuk beberapa yang menunggang kuda, turut mengepung Tempat Suci.

Ini semua adalah bagian dari upaya Israel, setelah lebih dari lima puluh tahun 'pencaplokan' dan pendudukan ilegal. Terlepas dari hukum internasional dan resolusi PBB, negara apartheid ini ingin menjadikan pendudukan ilegalnya permanen dan sah.

Provokasi Israel terhadap penduduk asli Palestina Muslim dimaksudkan untuk memberi tahu mereka siapa yang bertanggung jawab. Pada tahun-tahun awalnya, kepemimpinannya yang berhaluan kiri tidak menjadikan tempat-tempat suci Muslim dan Kristen sebagai prioritas.

Para pemimpin berikutnya seperti Benjamin Netanyahu dan penggantinya Naftali Bennett, berpikir sebaliknya, karena ideologi dan pemilih mereka adalah sayap kanan dan hak beragama yang menginginkan Israel menjadi negara Yahudi, termasuk tempat-tempat suci kelompok agama lain.

Baru-baru ini dilaporkan Perdana Menteri Israel Naftali Bennett mengizinkan seluruh tentara, Shin Bet dan semua pasukan keamanan untuk melakukan kebebasan bertindak guna 'membasmi teror'.

"Kami memberikan kebebasan penuh untuk bertindak kepada tentara, Shin Bet dan semua pasukan keamanan untuk mengalahkan teror," kata Bennett dalam pidato publik di Tel Aviv.

Pernyataan Bennett datang tidak begitu saja. Beberapa hari sebelumnya, ada gelombang serangan di pusat ibu kota Israel, Tel Aviv. Dalam menanggapi serangan tersebut, Shin Bet atau Dinas Keamanan Umum Israel membalasnya dengan membunuh pemuda Palestina yang diduga sebagai pelaku.

Diketahui, pemuda Palestina itu bernama Raad Fathi Hazem, 28, berasal dari kamp pengungsi Jenin. Ia dibunuh di dalam masjid di kota Jaffa, dekat Tel Aviv, karena bersembunyi di dalamnya.

Selain itu, Bennet juga telah memerintahkan untuk menutup jembatan penyeberangan Al-Jalama hingga pengumuman lebih lanjut, dengan maksud untuk membatasi pergerakan ke dan dari Jenin.

Ramadhan dan Hari Paskah Yahudi

Bulan suci Ramadhan, dari 16 hingga 22 April, tahun ini bertepatan dengan Paskah Yahudi. Pemukim Yahudi ekstremis menganggap ini sebagai alasan yang cukup untuk membobol Masjid Al-Aqsha.

"Semuanya siap untuk pengorbanan Paskah di sana-sini," kata Rabi Yehuda Cruz, salah satu rabi dari New Sanhedrin.

"Para imam sudah siap dan pakaian mereka sudah siap," lanjutnya.

Pemimpin gerakan ekstremis Return to the Temple Mount, Raphael Morris, telah mengajukan permintaan resmi kepada polisi Israel untuk mengizinkan dirinya beserta pengikutnya mempersembahkan 'pengorbanan Paskah'di Masjid Al-Aqsa pada Jumat malam, 15 April mendatang.

Menurut anggota Knesset sayap kanan Itamar Ben-Gvir tepat sebelum Ramadhan mengatakan, "Siapa pun yang mengendalikan Al-Aqsa, maka ia menguasai seluruh tanah Israel, dan musuh kita memahami itu."

Pada akhirnya, dampak dari fobia ini dapat menyebabkan kerusakan yang lebih besar daripada yang telah terjadi pada Mei tahun lalu, atau bahkan dapat mengalihkan perhatian dunia dari Ukraina ke tanah Palestina.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun