Ketika berita utama secara global dipenuhi oleh topik krisis Rusia-Ukraina, berbagai belahan di seluruh dunia antusias dalam mengawasi dengan cermat, menunggu dan melihat apakah Rusia akan mengurangi eskalasi atau bahkan terus tanpa henti menyerang.
Namun, ada satu sudut dunia yang agaknya berkurang untuk diperhatikan adalah dunia Arab. Seperti halnya dengan regional lainnya, dunia saat ini bak domino, jika ada konflik di timur maka barat, utara, dan selatan juga akan berdampak. Maka mau tidak mau, kawasan Timur Tengah juga akan merasakan efeknya.
Kawasan Timur Tengah hingga kini masih menjadi arena persaingan berbagai kekuatan besar, khususnya Amerika Serikat dan Rusia. Selain itu, wilayah ini merupakan produsen minyak dan gas terbesar di dunia, yang mana masa depan produksi energinya akan dipengaruhi oleh meningkatnya ketegangan dan dampak dari krisis.
Perlu diketahui, meroketnya harga minyak dalam beberapa pekan terakhir telah berdampak pada pasar keuangan di negara-negara Arab, khususnya di Teluk, di mana saham bergerak ke arah yang berlawanan sebagai reaksi terhadap ketegangan geopolitik di Eropa timur.
Ketakutan terbesar lain bagi negara-negara Arab di Timur Tengah bahwasanya mereka akan mengalami kekurangan pangan jika perang Rusia-Ukraina terus memanas. Pasalnya, kedua negara Eropa timur itu merupakan salah satu sumber utama gandum dan biji-bijian bagi Timur Tengah.
Maka dalam tulisan ini, penulis mencoba menjabarkan tiga pokok utama yang akan memengaruhi Timur Tengah atas konflik Rusia-Ukraina.
Dua Hegemoni
Patut disadari, pengaruh Rusia sepertinya akan semakin kuat di Timur Tengah melalui Suriah dengan kaki tangan Presiden Bashar al-Assad. Sementara Amerika Serikat, menurut Merissa Khurma, seorang pengamat Timur Tengah , ada sinyal kuat bahwa fokus pemerintah Presiden Joe Biden semakin pudar dalam menyelami isu-isu di kawasan ini, khususnya pasca kekalahan di Afghanistan tahun lalu. Kini, Biden lebih disibukkan oleh permasalah domestik maupun konflik di Indo-Pasifik.
Jurnalis Mesir, Tarek Osman, mencatat bahwa Rusia terus berusaha mengisi beberapa kekosongan yang ditinggalkan oleh Amerika Serikat. Osman menambahkan bahwa negara-negara Arab saat ini tengah menilai situasi Ukraina pada dua hal. Pertama, apakah Amerika Serikat memang akan menunjukkan kekuatan untuk mengaburkan tujuan Rusia atau justru sebaliknya, akankah Rusia mendapatkan apa yang mereka inginkannya sebagai satu-satunya yang memiliki hegemoni terbesar di Timur Tengah.
Keseimbangan Energi
Beberapa negara Arab, khususnya negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC), merupakan produsen energi terbesar di dunia. Karenanya, dengan menyoroti bagaimana krisis Rusia-Ukraina sepertinya akan berdampak pada kesehatan ekonomi mereka.Â
Seorang analis kebijakan dari Oman, Abdullah Baaboud, mengungkapkan bahwa konflik Rusia-Ukraina menempatkan mereka dalam posisi yang canggung jika harus memilih di antara keduanya. Begitupun sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia akan mempengaruhi kerjasama ekonomi dan militer di antara Moskow dengan negara-negara GCC.
Sementara itu, Arab Saudi dilaporkan telah menolak proposal Amerika Serikat untuk memompa lebih banyak minyak mentah dan memutuskan untuk mendukung kesepakatan antara Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) dan Rusia, atau yang dikenal dengan akronim OPEC+, yang berfokus pada memperbanyak produksi.
Senada dengan tetangganya, Putra Mahkota Uni Emirat Arab (UEA) Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nahyan telah membahas keberlangsungan kerjasamanya dengan Presiden Vladimir Putin mengenai minyak OPEC+. Kedua negara berjanji untuk melanjutkan koordinasi di pasar energi global.
Krisis Gandum
Baik Ukraina maupun Rusia adalah salah satu pengekspor gandum terbesar di dunia, dengan mewakili sekitar 29 persen dari pasokan global, di mana banyak negara di kawasan Timur Tengah sangat bergantung.
Mesir, Lebanon, Yaman dan negara-negara Arab di Afrika Utara, khususnya Libya dan Maroko, menghadapi krisis "roti" yang akan datang karena harga gandum terus melonjak dengan meningkatnya ketegangan di perbatasan Ukraina-Rusia.
Lebanon sangat rentan karena mereka bergulat dengan tantangan keamanan pangan mereka sendiri. Sementara konflik berkepanjangan telah menewaskan sekitar 377.000 orang di Yaman dengan 60 persen di antaranya meninggal karena kelaparan atau masalah kesehatan lainnya.
Di Mesir, krisis gandum ini mengingatkan kita insiden mengenaskan ketika harga roti melambung tinggi sehingga menyebabkan kerusuhan pada 2017 silam. Yang menarik, orang Mesir menyebut roti dengan kata "Eish" yang bermakna kehidupan. Jadi, ketika mereka tidak dapat mengakses "kehidupan" itu, maka pertaruhannya akan sangat mahal.
Lalu bagaimana sekarang?
Seperti yang dikutip dari berbagai sumber, beberapa pemerintah Arab kini telah mengambil posisi publik yang jelas. Di antara mereka juga telah menawarkan secara terang untuk memainkan peran dalam meredakan ketegangan antara Rusia dan Ukraina. Namun demikian, tidak sedikit dari mereka lebih memilih untuk menunggu dengan penuh kehati-hatian bagaimana seharusnya bertindak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H