Mohon tunggu...
Muhammad Hilmi
Muhammad Hilmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

halo!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sudahkah Dana Otonomi Khusus Papua Memberikan Kesejahteraan Perekonomian bagi Rakyat Papua?

23 Desember 2022   16:06 Diperbarui: 23 Desember 2022   16:06 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Pada tahun 1999 lahir kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia baik secara politik dan ekonomi sebagai bagian dari bentuk tuntutan reformasi. Undang-undang yang menerapkan desentralisasi di Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperinci dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berfokus pada peningkatan kemampuan pemerintah daerah untuk merespons kondisi lokal, tetapi penelitian umumnya mengaitkan desentralisasi dengan kinerja ekonomi nasional yang unggul (Breuss & Eller, 2004). Paling sederhana, jika desentralisasi menghasilkan kebijakan peningkatan pembangunan di tingkat lokal, maka jumlah efek dari kebijakan ini harus meningkatkan kinerja ekonomi negara secara keseluruhan. Kaitan teoritis lain antara desentralisasi dan kinerja ekonomi nasional mencakup pembuatan kebijakan yang lebih partisipatif, inflasi yang lebih rendah, penurunan korupsi, dan perpajakan dan belanja publik yang lebih responsif. Dengan demikian, desentralisasi adalah kebijakan pembangunan nasional yang dapat menghasilkan hasil pembangunan nasional.

Semangat lahirnya kebijakan otonomi daerah bertumpu pada spirit pemenuhan tuntutan reformasi untuk mewujudkan Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan lebih sejahtera (Abdullah, 2011). Komitmen pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan reformasi telah melahirkan kesadaran dan pemikiran baru dalam menangani berbagai permasalahan yang mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di seluruh daerah, termasuk Provinsi Papua. Secara khusus pada tahun 1999, pemerintah pusat menunjukkan keseriusannya sebagai bentuk political will dalam menangani permasalahan di Provinsi Papua secara sungguh-sungguh melalui penetapan Provinsi Irian Jaya/Papua sebagai daerah otonomi khusus (Otsus) yang tertuang dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G, butir 2, disetujui dan ditetapkan oleh DPR pada tanggal 22 Oktober 2001 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Musa'ad, 2011).

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tersebut maka pada intinya terdapat dua tujuan yang ingin dicapai melalui penetapan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua tersebut. Pertama, bahwa undang-undang tersebut diharapkan menjadi alat legislasi yang ampuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar di Papua yang mengancam secara serius integritas NKRI. Secara kategoris masalah-masalah tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga masalah, yaitu pelanggaran HAM yang termasuk di dalamnya pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya orang-orang asli Papua, ketimpangan pembangunan antara Papua dan luar Papua, dan kemiskinan dayang akut dan meluas, khususnya di kalangan orang-orang asli Papua. Kedua, dengan menyelesaikan tiga masalah tersebut di atas secara benar, tuntas, dan bermartabat, integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia di Papua dapat dipertahankan dan diperkukuh. Selain itu, undang-undang otonomi khusus Provinsi Papua juga memiliki semangat rekonsiliasi dan penyelesaian masalah yang ada di Papua secara menyeluruh, serta pemberian pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaan secara strategis dan mendasar (Djukisana, 2018).

Otonomi khusus Papua ini pada dasarnya adalah Provinsi Papua serta rakyat Papua di dalamnya diberikan kewenangan yang lebih luas untuk dapat mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas tersebut berarti pula mencakup kewenangan untuk mengatur pemanfaatan kekayaan alam di wilayah Provinsi Papua, sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua, memberdayakan potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki, termasuk di dalam memberikan peranan yang signifikan bagi orang asli Papua melalui wakil-wakilnya, baik itu wakil adat, wakil agama, dan wakil perempuan untuk terlibat dalam proses perumusan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat di Provinsi Papua (Musa'ad, 2011).

Pada tahun ini, otonomi khusus Papua telah berlangsung selama 21 tahun. Namun, berbagai permasalahan yang ada di Papua ternyata masih belum dapat teratasi dengan baik. Permasalahan yang ada baik itu secara kelembagaan, keuangan hingga politik dan pemerintahan. Secara kelembagaan, hingga saat ini lembaga-lembaga khusus di Papua masih belum maksimal. Majelis Rakyat Papua/Papua Barat (MRP/PB) masih belum maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsi dalam mengawasi implementasi dana otsus. Kapasitas dan kapabilitas dari MRP/PB nya pun masih lemah. Lalu dalam Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) meski komposisi keterwakilan orang asli Papua sudah lebih dari 90 persen, tetapi kurang terwakilinya dari elemen-elemen agama, adat, dan perempuan juga masih minim akan kehadiran dari para anggotanya.

Masih terdapat permasalahan keuangan di Papua mulai dari masalah kesiapan perencanaan daerah Papua sendiri yang belum memiliki masterplan jangka panjang untuk mengelola dana otsus di Papua dan Papua Barat. Implementasi dari dana otsus yang lebih banyak mengadopsi aturan yang berlaku secara nasional menyebabkan kebutuhan masyarakat Papua sendiri tidak terjawab dan terpenuhi. Terdapat juga masalah ketidaksiapan regulasi, seperti di Papua Barat yang belum mempunyai Perdasus sebagai payung hukum yang dapat mengatur tentang dana otsus. Sehingga penggelontoran dana otsus di Papua Barat bertumpu pada peraturan gubernur yang mengakibatkan arah pembangunan otsus tidak jelas, kurang efektif dan efisien karena semuanya hanya karena kehendak atau keinginan gubernur.

Dalam konteks politik dan pemerintahan, Papua masih belum menunjukkan hasil yang memuaskan dari penerapan konsep desentralisasi asimetris ini. Hal tersebut dikarenakan masih kurang baiknya relasi yang terjalin pada berbagai tingkatan pemerintahan. Pada tingkatan lokal, proses pendistribusian dana otsus baik itu untuk provinsi maupun kabupaten/kota masih menjadi permasalahan karena di dominasi oleh berbagai kepentingan politik. Bagaimanapun pengaruh berbagai aktor baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, MPR/PB, DPRP/PB, hingga OPM di Papua turut mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan otsus. Sejauh ini, tampaknya keterlibatan para aktor tersebut belum terharmonisasi dengan baik dalam penggunaan dan pemanfaatan dana otsus Papua.

Berkaca pada realita dimana masih banyak masyarakat Papua yang belum merasakan dampak dalam pelaksanaan otonomi khusus, hal ini seakan kontras dengan Dana otonomi khusus yang diberikan Kementerian Keuangan selaku Pemerintah Pusat kepada Pemda Papua yang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2018, Provinsi Papua mendapatkan Dana Otonomi Khusus sebesar Rp 12,03 triliun yang terdiri atas Rp 8,03 triliun dana Otsus dan Rp 4 triliun dalam bentuk Dana Tambahan Infrastruktur. Kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2019 mencapai Rp 13 triliun yang terdiri atas dana otsus 8,4 triliun dan Rp 4,6 triliun untuk perolehan Dana Tambahan Infrastruktur. Melansir dari papuabarat.bpk.go.id, anggaran untuk Papua dan Papua Barat di Tahun 2022 terdiri dari Rp 12,9 triliun dana otonomi khusus (otsus), Rp 50,2 triliun untuk dana tambahan infrastruktur, dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), serta Rp 21,6 triliun belanja kementerian atau lembaga.

Tampaknya kondisi Papua berbanding terbalik dengan jumlah penggelontoran dana otsus yang begitu besar. Alih-alih Papua dengan masyarakat Papua di dalamnya sejahtera dengan dana otsus yang besar, justru permasalahan-permasalahan belum terselesaikan hingga muncul permasalahan-permasalah baru dari adanya otsus ini. Lalu apa kesejahteraan itu? Menurut Nasikun (dalam Tobiro, ...) bahwa konsep kesejahteraan dapat dirumuskan sebagai padanan makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator yaitu rasa aman (security), kesejahteraan (welfare), kebebasan (freedom), dan jati diri (identity). Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat  hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, berbagai program telah digunakan melalui penggunaan otsus serta dana otsus guna mendongkrak peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Namun, jika berkaca pada saat ini dengan tingkat kesejahteraan Papua yang belum maksimal menunjukkan bahwa program-program yang ada saat ini kurang maksimal dan efektif juga. Menurut Djukisana (2018) keefektifan program peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilihat melalui empat aspek, yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi, serta budaya dan agama.
Kualitas sumber daya manusia asli Papua dapat ditingkatkan melalui pendidikan. Dengan tingginya kualitas sumber daya manusia di Papua tentu akan turut meningkatkan kapabilitas orang-orang asli Papua dalam mengelola serta memanfaatkan dana otsus Papua itu untuk kepentingan kesejahteraan mereka sendiri. Muhadjir (1980) menjelaskan bahwa perkembangan sosial ekonomi suatu bangsa akan berlangsung lebih baik, bilamana peningkatan pendapatan nasional didukung oleh pengembangan sumber daya manusia (human resources) dan pengembangan sumber daya manusia itu hanya akan didapatkan melalui pendidikan. Alokasi dana otsus Papua untuk kepentingan sebesar 30 persen dari total anggaran yang diterima dari pusat. Melalui alokasi sebesar itu, Papua masih hanya sebatas mampu membangun infrastruktur pendidikannya saja dan itupun hanya terdapat di kota-kota besar, tidak sampai di pedalaman-pedalaman Papua. Tentu dari segi kualitas pendidikannya sendiri masih jauh dari kata layak.

Adapun dalam aspek kesehatan, program-program kesehatan di Papua lagi-lagi hanya sampai pada tahap pembangunan sarana dan prasarana kesehatan. Padahal dalam aspek kesehatan, keberhasilannya diukur melalui derajad kesehatan. Menurut Mutawali (dalam Tjiong, 1987) menjelaskan bahwa derajad kesehatan menggambarkan tingkat kesehatan dan kemampuan masyarakat mengusahakan dirinya sendiri dan lingkungannya menjadi sehat. Derajad kesehatan manusia juga merupakan salah satu gambaran mutu manusia sebagai potensi utama pembangunan. Dalam mencapai derajad kesehatan diperlukan faktor perilaku serta lingkungan dan faktor ini cakupannya luas dimulai dari sosial-budaya, agama. Fisik dan biologis yang menuntut kita bukan hanya untuk menjadi sehat secara fisik tapi juga sehat secara rohani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun