Mohon tunggu...
Muhammad Hilmi
Muhammad Hilmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

halo!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tempat Civil Society dalam Ranah Politik Praktis Dimana?

29 Mei 2022   21:07 Diperbarui: 29 Mei 2022   21:09 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan demokrasi di Indonesia bukanlah perjalanan yang mudah. Keterlibatan masyarakat dalam hal perpolitikan di negara ini telah melalui berbagai lika-liku yang menjadikannya sesuatu yang krusial. 

Partisipasi dari masyarakat di dalam ranah politik praktis haruslah menjadi perhatian pemerintah karena sebagai negara yang demokratis, seharusnya Indonesia mampu mendengarkan segala aspirasi rakyat. 

Dengan lebih aktifnya masyarakat dalam melontarkan suara serta pendapatnya, mampu menjadi sebuah gerakan yang dapat memperkuat praktik demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat dalam politik sudah seharusnya menjadi hal yang dibiasakan.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat pun ikut sadar akan pentingnya suara mereka di ranah politik. Civil Society sebagai salah satu elemen dari masyarakat pun turut mengambil bagian dalam penyampaian suaranya di dunia politik. Keterlibatan civil society di dalam gerakan politik sudah bukan hal yang jarang ditemui. 

Civil society ini sendiri hadir dengan tujuan untuk membentuk sebuah masyarakat yang memiliki kemandirian serta terlepas dari hegemoni negara. Kelompok kepentingan sosial ini terorganisasi dengan ciri-ciri seperti kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, keterikatan dengan nilai dan norma hukum yang diikuti oleh pengikutnya, serta kemandirian yang tinggi ketika berhadapan dengan negara.

Pada kesempatan kali ini, akan dibahas lebih dalam lagi mengenai civil society sebagai kelompok kepentingan yang mewakili suara masyarakat dalam ranah politik praktis. Perwujudan hal ini dapat dilakukan melalui keterlibatan civil society dalam kompetisi pemilihan umum.

Civil society ini memiliki tempat yang sangat kuat dalam penyelenggaraan pemilihan umum dapat dilihat dari adanya politisasi identitas pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 silam. 

Berangkat dari pidato kedinasan Basuki Tjahaja Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu, telah menuai kontroversi yang tersebar luas di media sosial . 

Kontroversi tersebut pasalnya dilandasi oleh adanya unsur penistaan terhadap agama, khususnya bagi umat Islam yang menyangkut Surat Al-Maidah tentang pedoman memilih seorang pemimpin. 

Merespons hal ini, masyarakat dari golongan Islam menggelar unjuk rasa secara masif diikuti oleh ribuan orang - yang kemudian disebut sebagai Aksi 212. Mereka menuntut pemerintah terhadap Basuki (Ahok) untuk diproses secara hukum atas ucapannya yang menistakan agama Islam. 

Berangkat dari peristiwa ini, elektabilitas Ahok yang kala itu juga mencalonkan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada akhirnya mengalami penurunan. Sehingga, Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 kemudian dimenangkan oleh pasangan calon Anies-Sandi (Herdiansah, 2017).

Politisasi identitas dalam menggaet suara umat Islam juga senantiasa hadir dalam nuansa Pemilu Presiden tahun 2019, dengan kandidatnya yakni Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo- Sandi. Kedua pasangan seakan-akan berlomba untuk merangkul kalangan ulama. Misalnya, dari kubu Prabowo sendiri berhasil mengadakan ijtima ulama di tengah kontestasi politik. 

Sedangkan dari kubu Jokowi, terdapat 400 kiai dan kalangan pesantren menyatakan dukungannya terhadap paslon Jokowi-Ma'ruf. Selain itu, maraknya berita hoax dan ujaran kebencian di media sosial yang saling menyerang dan memanas di antara kedua kubu, menjadi hal yang tidak terelakkan dalam Pilpres 2019 silam. 

Mengutip dari Menkopolhukam, Wiranto, menyatakan bahwa terdapat 53 kasus hoax dan 324 hate speech yang terjadi sepanjang tahun 2018 dan diantaranya diselesaikan secara hukum (Zuhro, 2019).

Kedua kasus di atas telah menjadi representasi bahwa civil society di Indonesia berada pada posisi yang cukup kuat dalam menjalankan perannya meskipun dalam menggunakan haknya untuk menyatakan sikap politis pada realitanya masih jauh dari kata mandiri. 

Namun, bukan berarti mengimplikasikan bahwa masyarakat harus alergi terhadap politisasi agama. Kenyataan bahwa masyarakat yang dapat disetir oleh politisi masih kerap terjadi, dan bahkan nampaknya akan menjadi budaya tahunan bagi politisi sendiri untuk terus mengangkat isu keagamaan guna meraih suara dalam kontestasi politik. 

Cita-cita penyelenggaraan pemilu yang berlandaskan asas Luber-jurdil yang demokratis, harus pupus diantara perpecahan suara masyarakat. Padahal sejatinya, civil society seharusnya menjadi perangkat untuk mengawasi jalannya pemerintahan sehingga warga negara dapat melek politik dan menghindar dari adanya penyelewengan kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun