Politisasi identitas dalam menggaet suara umat Islam juga senantiasa hadir dalam nuansa Pemilu Presiden tahun 2019, dengan kandidatnya yakni Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo- Sandi. Kedua pasangan seakan-akan berlomba untuk merangkul kalangan ulama. Misalnya, dari kubu Prabowo sendiri berhasil mengadakan ijtima ulama di tengah kontestasi politik.Â
Sedangkan dari kubu Jokowi, terdapat 400 kiai dan kalangan pesantren menyatakan dukungannya terhadap paslon Jokowi-Ma'ruf. Selain itu, maraknya berita hoax dan ujaran kebencian di media sosial yang saling menyerang dan memanas di antara kedua kubu, menjadi hal yang tidak terelakkan dalam Pilpres 2019 silam.Â
Mengutip dari Menkopolhukam, Wiranto, menyatakan bahwa terdapat 53 kasus hoax dan 324 hate speech yang terjadi sepanjang tahun 2018 dan diantaranya diselesaikan secara hukum (Zuhro, 2019).
Kedua kasus di atas telah menjadi representasi bahwa civil society di Indonesia berada pada posisi yang cukup kuat dalam menjalankan perannya meskipun dalam menggunakan haknya untuk menyatakan sikap politis pada realitanya masih jauh dari kata mandiri.Â
Namun, bukan berarti mengimplikasikan bahwa masyarakat harus alergi terhadap politisasi agama. Kenyataan bahwa masyarakat yang dapat disetir oleh politisi masih kerap terjadi, dan bahkan nampaknya akan menjadi budaya tahunan bagi politisi sendiri untuk terus mengangkat isu keagamaan guna meraih suara dalam kontestasi politik.Â
Cita-cita penyelenggaraan pemilu yang berlandaskan asas Luber-jurdil yang demokratis, harus pupus diantara perpecahan suara masyarakat. Padahal sejatinya, civil society seharusnya menjadi perangkat untuk mengawasi jalannya pemerintahan sehingga warga negara dapat melek politik dan menghindar dari adanya penyelewengan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H