Ketika partai politik diartikan sebagai sebuah asosiasi bebas atau individu-individu atau kelompok individu yang salah satu tujuan utamanya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan masalah-masalah publik serta merepresentasikan pandangan dan perspektif warga negara termasuk melalui kehadiran dari para kandidat melalui pemilu yang bebas dan demokratik, maka dalam hal gender laki-laki dan perempuan seharusnya mempunyai porsi yang sama jika merujuk pada pernyataan sebelumnya, sebab warga negara ini menjangkau baik laki-laki maupun perempuan. Dalam proses politik dalam partai politik ini, nantinya partai politik secara aktual menyeleksi atau memilih para kandidat yang merupakan tahapan penting bagi usaha-usaha untuk mengantar perempuan mendapatkan kursi sebagai anggota perempuan legislatif maupun eksekutif.
Tampaknya terdapat tiga hambatan atau kesempatan penting yang harus dilalui perempuan untuk bisa terpilih dan masuk ke lembaga legislatif maupun eksekutif menurut Matland (dalam Soebono, 2021). Pertama, perempuan harus menyeleksi dirinya sendiri untuk ikut serta dalam pencalonan. Keputusan untuk pada akhirnya mencalonkan diri biasanya dipengaruhi oleh dua hal yaitu ambisi pribadi dan kesempatan untuk mencalonkan diri untuk terpilih. Kedua, perlu diseleksi oleh partai politik sebagai calon anggota legislatif misalnya, dan proses nominasi para caleg ini adalah salah satu peran penting yang dijalankan oleh partai politik.
Adapun sistem kuota gender, sebenarnya ide utama di balik sistem kuota ini adalah mengajak, mendorong dan merekrut perempuan untuk masuk dalam jabatan-jabatan atau posisi-posisi politik dan saat bersamaan memastikan bahwa perempuan tidak akan terisolasi atau merasa asing atau bahkan hanya sebatas dianggap sebagai hiburan semata dalam kehidupan dan proses-proses politik. Melalui sistem kuota ini, perempuan didorong atau diminta menjadi bagian suatu jumlah atau persentase dari anggota suatu badan, parlemen, komite atau bahkan pemerintahan. Meski pembicaraan soal sistem kuota biasanya merujuk pada parlemen dan partai politik. Namun, pada prinsipnya sistem kuota ini menempatkan proses dan beban rekrutmen tidak lagi pada perempuan secara individu, tapi pada pengawasan dalam proses rekrutmen. Memang sistem kuota bisa saja dibangun sebagai netral gender dan ini artinya bahwa tujuan dari sistem kuota untuk mempermasalahkan dan mengoreksi tidak atau kurang terwakilinya, baik laki-laki maupun perempuan dalam satu badan, organisasi, komite atau lembaga. Singkatnya, sistem kuota ini memiliki tujuan yang memastikan bahwa perempuan minimal sebagai minoritas kritis yang jumlahnya terdiri dari 30% atau 40% dari seluruh anggota organisasi atau lembaga.
Menurut Hoodfar dan Tajali (dalam Soebono, 2021), terdapat tiga tipe kuota gender. Pertama, kuota partai politik sebagai ukuran atau cara khusus dalam partai politik yang biasanya diadopsi secara sukarela untuk meningkatkan proporsi perempuan bersama mitra laki-laki dalam persamaan atau kesetaraan sebagai kandidat atau wakil yang terpilih dan kebanyakan melalui rancangan persentase, proporsi atau melalui urutan nomor dalam daftar kandidat yang dicalonkan partai politik. Kedua, kuota legislatif sebagai kebijakan mengikat secara nasional yang tercantum baik dalam undang-undang pemilu yang mengharuskan seluruh partai politik untuk menominasikan persentase tertentu atau proporsi perempuan dalam kandidat yang dicalonkan. Bisa diperkuat dengan sanksi bagi partai politik yang tidak mematuhinya. Ketiga, reserved seats sebagai kebijakan nasional bahwa sejumlah kursi tertentu dalam parlemen sudah dipastikan untuk perempuan. Jika tidak mencukupi jumlah perempuannya, maka biasanya perempuan dipilih secara langsung melalui kebijakan atau dipilih oleh partai. Mereka kemudian ditunjuk umumnya oleh cabang eksekutif.
Sistem kuota gender ini dapat dikatakan sebagai langkah awal atau gerbang awal bagi perempuan untuk dapat berkecimpung dalam dunia politik, khususnya parlemen untuk memperjuangkan hak serta kepentingan perempuan. Sebab yang mengetahui hak serta kepentingan perempuan secara utuh tentu perempuan itu sendiri. Sistem kuota gender ini merupakan affirmative action yang tersedia bagi perempuan untuk turut campur dalam ranah politik. Namun, pada akhirnya kembali lagi kepada keputusan perempuan itu sendiri. Apakah akan take action atau tidak dalam upaya meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan, serta turut serta dalam proses pembangunan. Sehingga tidak teraktualisasikannnya kepentingan perempuan dalam kehidupan bernegara karena absennya keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik tidak terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H