Mohon tunggu...
Muhammad Rezza
Muhammad Rezza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

PSK dalam Kacamata Moral

21 November 2018   22:40 Diperbarui: 21 November 2018   23:00 999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(regional.kompas.com)

Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Prostitusi di Indonesia bermula sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem feodal. Fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan (Kartono, 2005: 266).

Bentuk dari prostitusi pada zaman kerajaan-kerajaan Jawa lebih bersifat soft, tidak seperti sekarang yang sudah menjadi rahasia umum, dimana setiap masyarakat dapat mempunyai akses ke dalam dunia prostitusi. Salah satu contoh praktik prostitusi pada zaman kerajaan dulu ialah ketika raja berkehendak, tidak ada yang bisa menghalangi, termasuk saat dia ingin mempersunting seorang istri di luar permaisuri atau selir.

Bahkan, banyak bangsawan yang ingin puterinya yang cantik dan memikat dijadikan selir seorang raja, karena dianggap sebagai penghormatan. Sistem praktik prostitusi ini dapat terjadi karena dalam pandangan budaya jawa, raja dianggap yang mempunyai tanah, hukum, dan keadilan.

Selain itu raja juga menjalin hubungan dengan perempuan lain di luar permaisuri dan selir yang biasa disebut dengan gundik. Pergundikan telah menjadi adat yang dianggap biasa oleh masyarakat pada masa itu.

Bahkan ketika Belanda datang dan menjadikan Indonesia sebagai daerah koloninya, sistem pergundikan pun masih berjalan. Hanya yang berbeda dari pergundikan ini ialah bukan raja melainkan tuan tanah yang biasanya direpresentasikan sebagai orang asli Belanda (Eropa) dengan perempuan Inlander (Harnawan, 2018).

Dengan riwayat prostitusi yang telah berlangsung selama berabad-abad dari periode sistem kerajaan sampai kolonial Belanda, maka ketika Indonesia telah merdeka dan berjalan hingga sejauh ini, prostitusi juga masih belum dapat dihapuskan dari kehidupan masyarakat.

Dewasa ini praktik prostitusi semakin terang-terangan, buktinya ialah adanya sebuah lokalisasi. Di Indonesia banyak sekali lokalisasi yang dikenal, mulai dari Sarkem di Yogyakarta, Sunan Kuning (Semarang), Saritem (Bandung), dan lokalisasi yang baru saja ditutup yaitu Dolly (Surabaya).

Sejarah Dan Perkembangan Dolly

Menurut Purnomo (1983), semula kawasan Dolly adalah pekuburan Tionghoa. Pada tahun 1967, Dolly Khavit, seorang perempuan yang konon bekas PSK membuka usaha pelacuran. Ia mengangkat mucikari dari Kampung Cemoro Sewu dan membangun wisma bernama Barbara. Setelah itu, muncul wisma lain dan akhirnya di awal tahun 1970-an perkampungan itu berubah nama menjadi Gang Dolly.

Semakin lama Gang Dolly semakin dikenal masyarakat. Kondisi tersebut kemudian berpengaruh pada kuantitas pengunjung dan jumlah PSK serta Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi penduduk di sana.

Ada lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut, dan panti pijat plus. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000 lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, dan ahli pijat siap menawarkan layanan kenikmatan kepada pengunjung. Bahkan seorang PSK dapat melayani 10 hingga 13 pelanggan dalam semalam (Retnaningsih. 2014).

Bukan hanya itu, Dolly kemudian juga menjadi tumpuan hidup bagi ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.

Dolly kemudian mendapat predikat sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara mengalahkan Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Di Dolly terkumpul ribuan PSK yang berasal dari sejumlah daerah seperti Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Sidoarjo, Sumenep, Malang, Trenggalek, dan Kediri. Sedangkan mereka yang berasal Surabaya bekerja di Dolly sebagai model paruh waktu atau freelance (Retnaningsih. 2014).

Dengan banyaknya pihak yang terkait dalam proses perkembangan Dolly, ketika Pemerintah Kota melalui Walikota yaitu Ibu Risma akhirnya menutup dan membubarkan lokalisasi tersebut banyak warga yang protes terutama yang memiliki keterkaitan dengan Dolly itu sendiri.

Akan tetapi masyakarat yang mendukung penutupan lokalisasi Dolly juga tidak kalah massif. Banyak warga yang mendukung pembubaran lokalisasi ini dengan berlandaskan aspek agama, moral, dan sosial. Mereka berdalih bahwa jika Dolly tidak ditutup maka akan membahayakan generasi mendatang.

Penutupan Dolly sendiri juga membuat nasib para pelaku usaha yang menggantungkan hidupnya dari kehidupan siang-malam di Dolly menjadi tidak menentu, terutama bagi para PSK (Pekerja Seks Komersial) nya. PSK yang selama ini menjadi center of attention dari Dolly lah yang paling disorot.

Persentase penggantungan hidup PSK lebih besar dibandingkan dengan pelaku-pelaku lainnya termasuk germo sendiri. PSK yang telah terstigma buruk oleh masyarakat pada umumnya akan kesulitan untuk kembali ke kehidupan sebelumnya. Ketika ingin memulai lembaran hidup yang baru rintangan yang harus dihadapi sangatlah banyak. Mulai dari stigma sebagai mantan PSK, ketiadaannya skill pekerjaan lain, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Benar adanya bahwa Pemerintah Kota Surabaya telah menyediakan berbagai pendampingan untuk para PSK setelah Dolly ditutup. Akan tetapi akan menjadi sebuah PR besar bagi pemerintah jika pendampingan tersebut tidak berjalan ke arah semestinya. Yang ada ialah PSK tersebut akan menjajakan dirinya secara terselubung sehingga jejaknya akan sulit untuk dilacak.

Belum dengan adanya PSK yang masih bergulat dengan dunia prostitusi lainnya. Ketika Dolly ditutup mereka tidak terlalu memusingkan nasib mereka karena telah ada jaminan sosial dari para germo. Mereka akan dipindahkan dari lokalisasi Dolly ke lokalisasi-lokalisasi lainnya. Sehingga penutupan Dolly dapat dikatakan tidak berpengaruh secara massif terhadap jumlah PSK yang ada.

Anomali Pemahaman Moral

PSK di Dolly mengalami proses dilematik dimana mereka diberikan dua pilihan yaitu kembali hidup di luar dunia prostitusi atau tetap berkecimpung di dalam dunia tersebut dengan segala kecaman dan stigma yang dilontarkan oleh masyarakat.

Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa moral dari para PSK yang tetap berkecimpung di dunia prostitusi sangatlah rendah dan rusak. Mereka dianggap berbahaya untuk semua lini generasi, sehingga perlu untuk segara dieliminasi dari kehidupan mereka.

Akan tetapi agaknya mereka lupa bahwa pemahaman moral yang dianut oleh para PSK ini berbeda dengan mereka. Kehidupan yang berbeda membuat pemahaman akan moral menjadi berbeda pula. Hidup adalah pilihan, orang yang mau hidup tentu harus membuat pilihan diantara banyak hal yang harus dijalaninya. Orang bisa memilih sesuatu hal yang sungguh-sungguh berlainan dengan apa yang menjadi pilihan orang lain.

Pilihan itu bisa bertentangan dengan nilai, norma, hukum, atau bahkan agama. Pilihan inilah yang dikenal dengan pilihan menyimpang. Pilihan yang secara diametrik berbeda dengan mainsteam (arus utama) moralitas dianggap sebagai pilihan yang salah. Ukuran baik-buruk dan benar-salah selalu menggunakan tolak ukur moralitas (Syam. 2017:117).

Menurut Suseno (1987:19) definisi dari kata moral tidak hanya mengacu pada baik-buruknya saja, melainkan terhadap tanggung jawab profesinya. Bidang moral ialah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan benar-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.

Secara etismologis kata moral berasal dari bahasa latin yaitu "Mores" yang berasal dari suku kata "Mos". Mores berarti adat-istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, yang kemudian artinya berkembang menjadi kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik (Darmadi, 2009: 50).

Kesimpulannya ialah moral merupakan sebuah tindakan baik dan tindakan buruk pada diri manusia yang terbentuk karena sebuah kebiasaan. Jadi kebiasaan baik dan buruk itulah yang membentuk moral baik dan moral buruk, oleh sebab itu sebuah kebiasaan akan menjadi mengkristal atau membentuk moral seseorang (Suryanto, 2013: 12).

Dari beberapa penjelasan soal moral, dapat dikatakan bahwa pemahaman moral yang dianut oleh masyarakat dengan pemahaman moral yang PSK anut. Pemahaman moral yang berbeda inilah yang membuat sering terjadi pendapat yang berseberangan soal pandangan hidup dan khususnya penutupan lokalisasi.

Menarik untuk dicermati dan dipelajari lebih dalam mengenai pemahaman moral dari PSK. Ketika mereka tahu bahwa apa yang mereka lakukan salah menurut pemahaman moral yang dianut oleh kebanyakan masyarakat pada umumnya. Sehingga dari fenomena penutupan lokalisasi gang Dolly ini terdapat sebuah tema yang menarik untuk dilakukan penelitian berlanjut yaitu Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi pemahaman moral dari para PSK di gang Dolly ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun