Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Tak ada yang tetap dibawah langit

Ayo menulis

Selanjutnya

Tutup

Trip

Secarik Catatan di Bumi Cendrawasih

12 April 2021   13:03 Diperbarui: 12 April 2021   13:14 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Muhammad Ridwan

Pukul 14:30 waktu setempat pesawat landing di bandara Mopah, Merauke.

Roda pesawat dengan bunyi berdecitnya mengiringi pendaratan kami dengan selamat. Alhamdulillah

NNampakk di balik jendela pesawat, warna kemerahan sinar matahari pertama dari ujung timur Indonesia. kali pertama menginjakkan kaki di atas Bumi Cendrawasih. Saya pun langsung membatin dengan penuh rasa kagum, melihat Papua layaknya surga kecil yang di turunkan di bumi 

Alam yang mampu memberikan sejuta pesona, Papua pun mulai membius. Hutan, pegunungan dan sungai-sungai yang berkelok terlihat menakjubkan dari angkasa. Awan putih keperakan bagaikan gelombang permadani lembut yang menaungi belantaranya. Sungguh sebuah pemandangan yang menakjubkan. Itulah kesan pertama saya tentang tanah Papua ...

Semalam di Merauke.

Naik taksi dari bandara menuju penginapan dengan jarak yang tidak terlalu jauh, ya sekitar 500 Meter lah. Dekatnya minta ampun wkwk... Keluar dari mulut bandara Mopah masuk di jalan raya sedikit lalu kemudian belok masuk ke gang kecil. sampailah di penginapan. Biaya ongkos taksinya 100 RB, ya lumayan mengerutkan dahi memikirkan rasio harganya hehe...

Kota Merauke sebenarnya tidak asing bagi saya dan mungkin juga bagi kalian, itu semua berkat lagunya yang populer DARI SABANG SAMPAI MERAUKE Ciptaan R. Suharjo. Berterimah kasihlah kepada R. Suharjo yang telah memperkenalkan keragaman Nusantara lewat lagu tersebut. 

Sehari telah terlewati di manfaatkan untuk beristirahat di penginapan.. Keesokan harinya rombongan pun bersiap siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Asiki, salah satu distrik di kabupaten Boven Digoel tepat di sebelah Utara kabupaten Merauke dan berbatasan langsung dengan Negara Papua new Guinea di sebelah timur... Sembari menunggu mobil jemputan, ya seperti biasa ada rutinitas setengah wajib di pagi hari wkwk, apa lagi kalau bukan menyeruput segelas air kopi hasil seduhan sendiri di kantin sebelah. Saya sdh terbiasa menyeduh kopi sendiri, karna saya tau setiap kopi memiliki cita rasa yang berbeda tergantung cara penyeduhannya, prinsipnya MENYEDUH KOPI ADALAH SENI dan saya punya takaran sendiri, bagaimana cara menyeimbangkan kopi dan gulanya hehehe. Segelas kopi sudah tersedia namun tak lengkap rasanya tanpa di temani asapan SUARA RAKYAT alias Surya (sebuah akronim cocoklogi) sebagai simbol perlawanan kaum buruh migran internal wkwkwk.... Ya begitulah saya membeli kebahagiaan dengan kopi .. You can't buy happiness, but you can buy coffee. And that's pretty close to happiness. Kira2 kalau diterjemahkan seperti ini, "Anda tidak bisa membeli kebahagiaan, tetapi Anda bisa membeli kopi Dan itu cukup dekat dengan kebahagiaan"....****

Ayooo!! mobil suu datang teriak penanggung jawab perjalanan hehe.... Dengan sigap sang supir pun langsung mengangkat barang bawaan ke atas mobil... Kami pun memulai perjalanan panjang sejauh 410 km menggunakan mobil jenis truk pickup double cabin... Sejenak singgah melapor di kantor konglomerasi ANTI ADAT dikota Merauke, saya sengaja sebut Anti Adat karena di balik kalimat ANTI ADAT ada makna yg tersirat hehe.... perjalanan meraoke-Boven Digoel   

kini dapat ditempuh hanya waktu 8 jam setelah ruas jalan trans Papua selesai di bangun. Mobil yang di tumpangi melaju dengan kencang dengan kecepatan mobil rata rata 120-140 km, sebuah kecepatan yang tak biasa Padahal, konon katanya sebelum diperbaiki jarak tempuh yang dibutuhkan bisa berminggu-minggu. Bagaimana tidak dahulu trans Papua hanyalah jalan tanah, saat hujan turun pengguna jalan terpaksa bermalam menunggu sampai jalan kering. Kini jalan sudah beraspal sejauh 420 km, jalan yang lurus, ditambah volume kendaraan yang sedikit dipastikan memangkas waktu tempuh distribusi barang, kebutuhan logistik dan masyarakat. Dalam perjalanan, alam papua tak henti hentinya menyuguhkan panorama indah, hutan belantara seperti tak terjamah manusia turut menyertai sepanjang jalan, namun semuanya berbeda ketika kita memasuki wilayah perbatasan antara kab Merauke dan kab Boven Digoel, Dimana sebelumnya mata kita selalu di manjakan oleh pemandangan rimba raya yang membentang luas berubah menjadi area industri perkebunan sawit. Kabupaten Boven Digoel adalah hasil pemekaran dari kab merauke, wilayahnya sangat luas, dulunya di penuhi hutan rimba yang menjadi Hak Ulayat masyarakat setempat. Menurut informasi ada ratusan ribu hektar lahan yang dulunya hutan adat beralih menjadi area konsesi perkebunan oleh pihak konglomerasi...

Sekilas tentang Boven Digoel

Boven Digoel, dulu di sebut Digoel atas atau tanah merah, ternyata menyimpan banyak sejarah perjuangan kemerdekan Indonesia. 

Tanah merah menjadi saksi bisu kisah pengasingan para tokoh nasional perintis kemerdekaan... 

12 November 1926 Batavia dalam keadaan genting, terjadi huru hara dimana mana, ribuan massa mengamuk menyasar kantor polisi dan pejabat Belanda saat itu. Amukan massa tersebut di pelopori oleh kaum komunis tak terpelajar, akibatnya pentolan komunis itu banyak di tangkapi oleh pemerintah Hindia belanda dan di penjarakan di penjara kolonial sekitar jawa tapi dewan Hindia Belanda menganggap penjara saja tidak cukup, akhirnya 18 November 1926, Raad van Nederlandsch-Indie (Dewan Hindia Belanda) memutuskan untuk membangun kamp pengasingan bagi para pemberontak. Digoel lah yang menjadi pilihan lokasi pembuangan para tahanan politik (tapol) Belanda melalui 

Gubernur Jenderal De Graeff pada tahun 1927. ada 1.308 pemimpin pemimpin nasional yang di buang kesana, di antaranya tokoh besar Indonesia ialah Bung Hatta dan Sutan Syahrir, di asingkan pada 28 Januari 1935 silam, selain kedua tokoh tersebut ada juga nama seperti Mohamad Bondan, Maskun, Burhanuddin, Suka Sumitro, Moerwoto, Ali Archam, dan sejumlah para pejuang lainnya. Di ketahui Boven Digoel adalah tempat pembuangan yang menyeramkan, Bung Hatta pernah tumbang karena terserang malaria di tambah banyaknya binatan buas, namun Di Boven Digoel, orang buangan tak mendapati penyiksaan dan tak ada pula kewajiban kerja paksa. Mereka di biarkan membangun rumah sendiri untuk ditempati. Mereka juga boleh pergi ke manapun sesukanya, asalkan masih dalam radius 30 KM dari kamp. Jika menghilang, mereka akan dikejar oleh polisi dan serdadu KNIL yang bertugas di sana, jauh berbeda dengan lokasi pembuangan di pulau buru yang sangat ketat dengan peleton pengawal...sudah menjadi karakter orang Belanda Devide et Impera adalah senjata utama untuk memecah belah wilayah jajahannya, orang buangan banyak yang di adu domba oleh Belanda, akibatanya terjadi permusuhan antar para tawanan, pertengkaran sesama pun tak bisa dihindari di kamp Digul. Jepang masuk tapol di alihkan ke Utara autralia dan berakhir dengan kembalinya para tapol ke asalnya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun