Zaman telah banyak berubah, perkembangan yang sangat pesat di berbagai bidang menuntut pola pikir yang dinamis dan fleksibel, menolak perubahan sama saja memposisikan diri sebagai pihak terasing di tengah peradaban, inovasi baru menjadi sebuah keharusan agar tetap dapat survive di peta persaingan global. Terkait perubahan ini, kita ambil contoh perusahaan raksasa teknologi asal Finlandia yaitu Nokia, kita pasti pernah memiliki telepon gengggam merk Nokia atau setidaknya tidak asing dengan brand tersebut. Dikutip dari yefadvisor.com Nokia mencapai puncak kejayaaanya pada tahun 2006-2008, pencapaian terbaiknya adalah di tahun 2007, dengan market share 49,4% Nokia menyandang predikat sebagai penguasa pasar ponsel dunia. Namun, kesuksesan ini berangsur memudar karena untuk tahun-tahun berikutnya, market share Nokia terus mengalami penurunan hingga data terakhir di Q2 2019 menunjukkan global market share nokia hanya sebesar 1,3%.
Dari data tersebut akan memunculkan pertanyaan, apa yang terjadi dengan Nokia dan faktor apa sih yang menyebabkan runtuhnya kejayaan Nokia dari semula berpredikat penguasa pasar ponsel kini berubah menjadi sebuah perusahaan yang sedang berjuang agar tetap dapat survive di tengah kompetisi pasar ponsel dunia. Dari beberapa artikel dan berita yang saya baca dapat ditarik kesimpulan penyebab utama kemunduran Nokia adalah sikap keras kepala dan tidak mau menerima perubahan, tindakan tersebut berkaitan dengan kehadiran sistem operasi atau OS berbasis Android pada tahun 2009, Nokia yang memiliki sistem operasi sendiri yaitu OS Symbian merasa yakin sistem operasi mereka tidak akan tersaingi dengan keberadaan OS Android milik Google maupun IOS milik Apple. Keputusan inilah yang menjadi bumerang bagi perusahaan Nokia karena ternyata untuk tahun-tahun selanjutnya OS Android dan IOS jauh lebih laku di pasaran ketimbang OS Symbian yang tertinggal jauh dari segi kemudahan dan minimnya fitur yang ditawarkan dibanding sistem operasi milik kompetitor. Dari kisah kemunduran Nokia diatas, kita dapat mengambil pelajaran berharga, yaitu suatu perubahan perlu dilakukakan dengan memperhatikan kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan agar tetap dapat berkompetisi di era modern.
Lalu, bagaimana konsep perubahan tadi jika kita hubungkan dengan pancasila, terkait hal tersebut maka akan timbul pertanyaan selanjutnya, apakah pancasila masih relevan di era modern?, pancasila yang merupakan produk puluhan tahun yang lalu apakah masih memiliki konteks yang sesuai dengan kemajuan yang terjadi di era seperti saat ini?. Pertanyaan ini menjadi menarik karena belum lama ini terdapat beberapa pihak yang mengusulkan RUU Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP yang menuai kontroversi di kalangan msyarakat. Dikutip dari Republika.id, dalam draf RUU HIP yang diajukan Panitia Kerja Legislatif DPR tentang RUU HIP, pasal 7 ayat (2) menjelaskan bahwa ciri pokok Pancasila berupa Trisila. Ketiganya, yaitu "sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan". Kemudian, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong royong," bunyi pasal 7 ayat (3). Akan tetapi, pasal ini akhirnya dihapus karena maraknya aksi penolakan dari berbagai lapisan masyarakat dan beberapa parpol islam yang merasa keberatan dengan keberadan pasal tersebut.
Melanjutkan pembahasan apakah pancasila masih relevan di era modern?, atas pertanyaan ini Bapak Erbe Sentanu menjelaskan dalam kuliah umumnya bahwa pancasila merupakan sistem nilai yang digali para founding father kita di masa lalu dan merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sejak dulu kala. Jadi, nilai yang terkandung dalam pancasila bukanlah nilai yang baru ada sejak pancasila disahkan, nilai tersebut sudah ada jauh sebelum itu karena merupakan jati diri dan cita-cita bangsa Indonesia yang terus mengakar dari dulu, sekarang, hingga masa yang akan datang, dan Pancasila berperan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai tersebut. Perubahan di bidang teknologi dan bidang lainnya yang terjadi karena perkembangan zaman hanyalah suatu output dari olah pikir otak manusia yang pasti akan mengalami dan membutuhkan suatu perubahan, berbeda dengan Pancasila, Pancasila tidak boleh dirubah karena nilai yang terkandung di dalamnya bukan merupakan suatu hal yang dapat tergerus seiring perkembangan zaman, setiap pasalnya mengandung sistem nilai yang saling berkaitan erat satu sama lain, nilai tersebut menyatu dalam diri bangsa Indonesia sebagai bentuk jati diri mereka dan merupakann pedoman dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan teknologi dapat diibaratkan sebagai perubahan casing atau tampilan luar, atas casing tersebut kita dapat melakukan berbagai perubahan sesuai kebutuhan, sedangkan Pancasila diibaratkan sebagai hati nurani, terhadap hati nurani kita tidak dapat melakukan perubahan, hati nurani tidak akan mengubah penilaiannya terhadap sesuatu yang ia anggap benar menjadi salah begitu pula sebaliknya.
Kesimpulan dari artikel ini adalah tidak semua hal harus menganut konsep perubahan, ada hal tertentu berdasarkan vitalnya nilai yang terkandung di dalam hal tersebut menjadikannya tidak boleh dirubah, seperti sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadikan kelima silanya tidak boleh mengalami perubahan karena Pancasila merupakan kristalisasi dari konsep nilai yang telah mengakar sejak dulu yang memuat jati diri dan cita-cita bangsa Indonesia serta menjadi pedoman bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejak dulu, sekarang, hingga di masa yang akan datang.
Sebagai generasi milenial penerus bangsa, kita harus senantiasa berpegang teguh dan mengamalkan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila di setiap sendi kehidupan, Pancasila bukanlah alat untuk memecah belah, tidak boleh kita merasa paling pancasilais dan menganggap orang lain sebagai anti pancasilais karena Pancasila ada untuk menyatukan bangsa, bukan untuk memecah belah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H